Menyiapkan Bekal Untuk 'Hari Esok'
10.28 | Author: Unknown
Di dalam Alquran Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok; bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengawasi apa saja yang kalian lakukan (TQS al-Hasyr [59]: 18).

Imam Ali ash-Shabuni, di dalam kitab tafsirnya, Shafwah at-Tafasir, saat menafsirkan ayat tersebut menjelaskan antara lain tiga hal penting. Pertama: Bertakwalah kepada Allah, maknanya adalah takut kepada Allah dan merasa khawatir dengan azab-Nya, dengan cara menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Berdasarkan penjelasan Imam ash-Shabuni ini, berarti tak ada gunanya klaim bahwa kita takut kepada Allah dan azab-Nya jika kita tidak melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sebab, iman sendiri, sebagaimana sabda Baginda Nabi SAW bukan sekadar pengakuan di mulut dan pembenaran di kalbu tapi  butuh pembuktian dalam amal perbuatan. 

Kedua: Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok, maknanya adalah: hendaklah setiap orang memperhatikan amal shalih apa yang telah dia perbuat untuk bekal menghadapi Hari Kiamat. 

Apa yang disebut dengan amal shalih? Amal shalih adalah seluruh amal kebajikan yang menurut para ulama harus memenuhi tiga syarat: (1) Dilandasai oleh iman kepada Allah SWT. Dengan demikian, amal apapun yang dalam pandangan manusia dianggap baik (misal: gemar menolong sesama, dermawan, dll) tidak disebut sebagai amal shalih di mata Allah SWT selama pelakunya adalah kafir. Allah SWT menyamakan amal-amal orang kafir ini seperti fatamorgana alias tak berbekas sama sekali. (2) Didasari niat semata-mata ikhlas karena Allah SWT. Cirinya antara lain: tidak riya dan sum'ah (berharap pujian dari manusia) serta beramal dengan amal yang terbaik kualitasnya. Ikhlasnya shalat seseorang, misalnya, selain tidak disisipi sikap riya dan sum'ah,  tampak  dari   kualitas shalatnya: khusyu' dan khudhu'  (tunduk/merendahkan diri) saat shalat, tuma'ninah, tidak tergesa-gesa, bacaannya tartil, dll. Dakwah yang ikhlas, misalnya, adalah dakwah yang selalu disiapkan dengan optimal dan direncanakan dengan matang; tegas dan lurus dalam penyampaian (qawl[an] sadid[an]/tidak samar dalam menyatakan halal-haram); didasarkan pada hujjah yang haq, dengan tutur kata yang baik, didasarkan rasa cinta (bukan kebencian) kepada yang didakwahi, dll. (3) Sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW yakni tatacara (kayfiyah)-nya sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh beliau,  kecuali dalam hal yang terkait dengan uslub dan wasilah. Semua amal kebajikan—seperti shalat, shaum, zakat, haji, mencari nafkah, bersedekah, menuntut ilmu, berdakwah, melakukan amar makruf nahi munkar, berjual beli, berpolitik, mengurus rumah tangga dan keluarga, mengurus rakyat, dll—bisa dikategorikan sebagai amal shalih jika memenuhi kriteria di atas. Semua amal shalih itu adalah bekal seseorang untuk menghadap Allah SWT pada Hari Akhir nanti.

Ketiga:  Hari Kiamat disebut dengan 'hari esok' karena begitu dekat saat kedatangannya. Berdasarkan penjelasan Imam Ali ash-Shabuni ini, jelas bahwa terjadinya Hari Kiamat sangatlah cepat. Hal ini bisa dipahami karena usia kehidupan manusia di dunia ini sesungguhnya amatlah singkat dibandingkan kehidupannya nanti di akhirat yang abadi. Usia manusia di dunia saat ini rata-rata berkisar 60-70 tahun. Bahkan Rasulullah SAW dan generasi para Sahabat yang hidup lima belas abad yang lalu pun usianya berkisar di angka tersebut. Betapa singkatnya. Bayangkan, mereka yang telah wafat lima belas abad yang lalu itu, rata-rata hidup di dunia ini tidak lebih dari 70 tahun. Artinya, jika dihitung sampai hari ini, masa hidupnya di dunia yang rata-rata 70 tahun itu jauh lebih singkat dibandingkan dengan masa penantiannya yang 'panjang' di alam kuburnya. 

Bandingkan pula rata-rata umur manusia di dunia ini dengan umur benda-benda langit yang konon menurut para ahli diciptakan oleh Allah SWT milyaran tahun yang lalu. Para astronom memperkirakan bahwa di alam raya ini terdapat milyaran galaksi dengan sekitar 1.000 trilyun planet dan bintang. Di antara bintang-bintang itu ada yang berukuran ribuan kali besar matahari, yang jaraknya dari bumi adalah jutaan tahun cahaya. Satu tahun cahaya kira-kira 9.416 milyar km atau sekitar 10.000 tahun! Mustahil jarak tersebut bisa dilampaui manusia yang usianya super pendek itu. 

Lalu bagimana jika usia manusia di dunia yang super singkat itu dibandingkan dengan keabadian kehidupannya di akhirat nanti? Tentu tak ada apa-apanya. Namun demikian, justru kehidupan yang sangat singkat di dunia inilah yang menentukan apakah manusia bahagia (masuk surga) atau sengsara (masuk neraka) di kehidupan akhirat nanti. Akhirat itulah yang Allah SWT sebut dengan 'hari esok'. Sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menyongsong 'hari esok' yang amat dekat waktunya itu?! Wa ma tawfiqi illa billah. [http://mediaumat.com] abi 
baca selengkapnya “Menyiapkan Bekal Untuk 'Hari Esok'”
Berlomba ke Neraka
22.01 | Author: Unknown
Inna lillâhi wa inna iIayhi râji'ûn. Dengan ekspresi sedih, kata-kata itulah yang meluncur dari bibir Umar bin Abdul Aziz sesaat beliau dibaiat menjadi khalifah (kepala Negara Islam).
Sebelumnya, Umar memang sudah berusaha keras menolak untuk diangkat menjadi Khalifah. Namun, umat tampaknya lebih keras lagi 'memaksa' agar beliau bersedia menjadi Khalifah. Lalu terjadilah pembaiatan itu. Akhirnya, dengan ikhlas dan ridha, Umar menerima baiat umat. Namun, hal itu tidak membuat beliau tenang. Kegelisahan di dada ia bawa saat pulang ke rumahnya. Ia mengurung di kamarnya. Ia menangis. Dalam benaknya terbayang, jutaan rakyatnya siap menuntutnya di hadapan Pengadilan Allah pada Hari Kiamat nanti jika ia tidak bisa melayani, mengayomi dan melindungi mereka. Karena itulah, bagi beliau, amanah kekuasaan yang baru saja beliau terima adalah 'musibah besar'. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyadari betul sabda Baginda Nabi saw., “Sesungguhnya kekuasaan itu amanah. Pada Hari Kiamat nanti ia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haq dan menunaikan apa yang diamanahkan di dalamnya.” (HR Muslim).

*****
Dalam Islam, kekuasaan tentu bukan sesuatu yang haram. Bahkan hanya dengan kekuasaanlah Islam di muka bumi ini bisa benar-benar tegak, hukum-hukum Allah bisa kokoh berdiri, umat Islam bisa terlindungi dari ancaman musuh dan risalah Islam bisa tersebar luas dengan dakwah dan jihad. Dengan kekuasaan pula Islam sebagai rahmatan lil 'alamin betul-betul bisa terwujud. Itulah realitas yang benar-benar terjadi saat kekuasaan itu berada di tangan orang-orang salih, zuhud, wara' dan amanah seperti halnya Umar bin Abdul Aziz, atau generasi yang lebih awal, yakni Khulafaur Rasyidin.
Namun demikian, selama penguasa adalah manusia, bukan nabi, mereka berpotensi keliru dan menyimpang dalam menjalankan amanah kekuasaannya. Inilah yang senantiasa 'menghantui' generasi salafush-shalih sehingga sejauh mungkin mereka akan menolak jika diberi amanah kekuasaan. Jika pada akhirnya mereka 'dipaksa' harus menerima beban amanah kekuasaan, mereka begitu takut dihisab oleh Allah SWT pada Hari Akhirat nanti jika mereka tidak amanah. Inilah yang tergambar dari ucapan terkenal Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah SWT akan meminta tanggung jawabku di Akhirat nanti.”
Inilah pula yang tergambar dari sikap Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat beliau 'ditegur' oleh putranya, “Ayah, bagaimana jika ada rakyat Ayah yang begitu membutuhkan Ayah, sementara Ayah sedang duduk beristirahat di rumah?”
Seketika Khalifah Umar sadar, lalu bangkit dan kembali bekerja melayani rakyat. Padahal Khalifah Umar baru beberapa menit saja melepaskan penat. Keringat pun masih membasahi tubuhnya karena setiap hari hampir sebagian besar waktunya habis untuk mengurus dan melayani rakyatnya.
Jangan lupa, sikap dan perilaku para penguasa Muslim yang luar biasa seperti itu adalah saat negara benar-benar menerapkan syariah Islam secara total dalam institusi Khilafah Islamiyah. Artinya, selama mereka 'lurus-lurus' saja dan benar-benar menerapkan syariah itu secara benar, kekhawatiran untuk tidak amanah atau berlaku lalim terhadap rakyat seharusnya tidak perlu terjadi.
*****
Jika generasi salafush-shalih begitu khawatir dan takut menjadi penguasa, manusia-manusia zaman sekarang justru berlomba-lomba meraihnya. Dengan segala cara, meski harus menghamburkan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah, mereka berusaha mewujudkan mimpinya; entah menjadi presiden/wapres, sekadar menjadi kepala daerah, ataupun menjadi wakil rakyat. Dalam hal ini, 'keberanian' mereka mengalahkan 'keberanian' Khalifah Umar bin al-Khaththab atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bagaimana tidak! Keduanya, saat menjabat sebagai khalifah, begitu takutnya terhadap hisab Allah pada Hari Akhir nanti atas kepemimpinannya di dunia. Sebaliknya, manusia-manusia zaman sekarang yang sangat ambisi kekuasaan, begitu beraninya 'menantang' hisab Allah SWT.
Saat mereka berhasil menjadi penguasa, kepala daerah atau wakil rakyat, bukan kegelisahan dan isak tangis yang mereka tunjukkan (sebagaimana yang ditunjukkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz), namun kegembiraan dan rasa syukur. Jika demikian, sesungguhnya mereka tidak sedang bersyukur, tetapi sedang ber-'sukur' (sukr, b. arab; mabuk). Ya, mereka sedang 'mabuk kekuasaan'. Mereka lupa bahwa dengan kekuasaan, jabatan atau posisi sebagai wakil rakyat yang mereka raih dalam sistem sekular yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah itu, mereka sebetulnya sedang berjalan menuju ke neraka; mereka sedang berlomba masuk ke dalamnya. Wal 'iyâdz billâh! 
mediaumat.com
baca selengkapnya “Berlomba ke Neraka”
Persiapan Dini menuju Pernikahan
23.14 | Author: Unknown

Polemik Nikah Dini
Fenomena pernikahan dini di Indonesia masih cukup menyita perhatian pemerintah maupun publik.  Sebagai bukti, pada tahun 2011 ini BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) makin gencar melakukan kampanye untuk mendorong agar jangan sampai terjadi pernikahan dini. BKKBN mencanangkan program bernama ‘Genre’ atau generasi berencana. Kampanye ini telah mengarah ke seluruh provinsi di Indonesia.  (detiknews, 18 Mei 2011)
Lembaga ini memang termasuk pihak yang paling gencar mengimbau masyarakat agar tidak menikah muda. Pasalnya, di Indonesia masih banyak orang yang menikah pada usia di bawah 20 tahun. Menurut lembaga ini, idealnya perempuan menikah di usia 20-35 tahun, sedangkan untuk pria usia 25-40 tahun dengan pertimbangan sudah matang secara medis dan psikologis.  Mereka berpandangan bahwa ketidakmatangan menikah di usia dini cenderung menyebabkan kehancuran rumah tangga dan resiko yang bersifat medis.
Polemik pun bergulir.  Sayangnya, perbincangan seputar nikah dini ini cenderung menyudutkan pelaku nikah dini.  Masyarakat pun latah untuk ikut ‘mengharamkan’ nikah dini menyusul munculnya beberapa kasus yang tidak diinginkan pada pelaku nikah dini.  Mereka lupa untuk mencari sebab hakiki terjadinya problematika yang muncul dari pernikahan dini ini.  Mereka hanya spontan menolak, tanpa memberi solusi lain bilamana pernikahan dini adalah perkara yang terpaksa harus dijalani.
Namun, di tengah gencarnya propaganda larangan menikah dini ini, tak sedikit pula yang justru mempertahankan konsep pernikahan dini.  Menurut kalangan ini, problematika yang menimpa pelaku nikah dini bukanlah disebabkan oleh faktor usia, namun oleh kesiapan saat menikah.  Sebab, tak semua pelaku nikah dini bermasalah.  Demikian pula, tak semua pelaku nikah di usia matang tidak menuai persoalan.  Intinya terletak pada kesiapan saat menikah yang harus dipenuhi baik oleh mereka yang masih dini (belia) maupun yang berusia matang.
Persoalan kesiapan menikah tak hanya menjadi penentu retak dan langgengnya bahtera rumah tangga pelaku nikah dini.  Persoalan ini juga penting mengingat maraknya perceraian juga   disebabkan oleh lemahnya persiapan sebelum menikah.  Pergaulan bebas muda mudi pun bisa jadi menjadi pelarian karena mereka belum memahami konsep pernikahan atau tidak mampu mempersiapkan pernikahan sehingga cenderung menunda pernikahan.  Dari sini penting untuk dipahami hal-hal yang harus dipersiapkan untuk menikah.
Sebagai bentuk persiapan, maka semakin dini dilakukan akan semakin baik.  Sehingga tatkala seseorang harus menikah kapanpun usianya -asal dibolehkan syariat- maka ia harus menguasainya demi keberlangsungan behtera rumah tangga.  Lantas, apa saja yang harus dipersiapkan?
Usia Bukan Persoalan
Pada dasarnya Islam membolehkan menikahi perempuan di bawah umur, sebelum haid atau usia 15 tahun.  Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Demikian penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).”
Salah satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. at-Thalaq [65]: 04)
Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah -radhiya-Llahu ‘anha- dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ وَأَنَا اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)
“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Dengan demikian Islam memandang bahwa perempuan boleh menikah di usia dini.  Dengan kebolehan ini maka persiapan untuk itu pun harus dilakukan sejak dini.  Sebab, ketika seorang perempuan menikah -pada usia berapapun- ia harus mengetahui hukum syariat yang terkait dengan pernikahan, hak dan kewajiban suami isteri, pengasuhan anak, dll.  Jika ia sudah baligh maka ia terbebani hukum yang berkonsekuensi atas pahala dan dosa atas perbuatannya.
Meski syariat telah membolehkan, banyak kalangan menilai rendah bentuk pernikahan dini.  Mereka memandang pernikahan dini cenderung mengalami kegagalan.  Namun, benarkah kegagalan itu disebabkan oleh dininya usia pernikahan?  Jika didalami, sebenarnya kegagalan pernikahan tidak ditentukan oleh usia saat menikah, tapi lebih ditentukan oleh kesiapan saat menikah.  Buktinya, mereka yang menikah pada usia matang pun bisa gagal menjalani kehidupan rumah tangga.
Persiapan, Kunci Penting
Masalahnya, banyak yang menikah masih usia belia, persiapan menikahnya masih cenderung minim.  Apalagi dalam sistem sekuler seperti sekarang ini, penyelenggaraan pendidikan tidak mengarahkan siswa memiliki kematangan mental (emosional dan spiritual) sehingga rawan terpelanting saat menghadapi situasi sulit.  Sebagai contoh, siswa (laki-laki) SMP/SMA yang sudah baligh seharusnya memiliki pemahaman bahwa pada dasarnya ia diberi beban untuk menghidupi dirinya sendiri.  Ia tidak harus bergantung pada walinya.  Kemandiriannya dituntut berkembang saat menjelang baligh hingga saat baligh ia memiliki konsep hidup untuk berusaha tidak menyerahkan perwaliannya kepada ayahnya.
Begitu pula bagi siswi perempuan, sistem pendidikan sekuler tidak cukup memberi bekal ketrampilan hidup termasuk ketrampilan kerumah tanggaan.  Dengan demikian, tatkala ia harus berumah tangga (meski di usia belia) ia tak cukup memiliki kesiapan.
Berbeda dengan sistem Islam, maka dalam sistem Islam negara memberlakukan sistem pendidikan yang mampu mengarahkan setiap siswa untuk memiliki kemampuan sebagai orang yang mukallaf saat usia mencapai baligh.  Misalnya, mendidik saat seorang laki-laki sudah tidak harus bergantung kepada ayahnya, saat seorang perempuan baligh layak/ dibolehkan untuk menikah, saat mereka harus menata emosi meski berusia muda agar tidak menentang syariat dan sebagainya.
Sistem pendidikan Islam akan mampu mencetak remaja berkepribadian Islam yang memiliki kesiapan menikah saat kapanpun kesempatan itu datang .  Mempersiapkan menikah seharusnya diberikan sejak mereka baligh.  Sebab saat itulah mereka dianggap oleh syara’ telah layak untuk menikah.
Dengan demikian, usia belia yang dianggap sebagai ancaman bagi pernikahan bukan lagi masalah.  Secara fisik maupun mental mereka mampu, jika dipersiapkan.  Inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah dan kaum muslim dalam menilai berbagai persoalan yang mengiringi pernikahan dini.
Urgensi Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan yang sah menurut syariat Islam bagi dua lawan jenis untuk melakukan interaksi khusus (hubungan jenis) dengan aturan yang khusus.  Melalui pernikahan, keberlangsungan jenis manusia akan terwujud.  Melalui pernikahan pula akan diperoleh ketenangan dan kedamaian bagi suami isteri.  Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (TQS al-A‘râf [7]: 189)
Keluarga sakinah mawaddah wa rohmah (Samara) tidak akan terwujud bila suami isteri tidak memahami hakikat berkeluarga.  Untuk itu, persiapan membentuk keluarga Samara ini mutlak diwujudkan sebelum pasangan memasuki jenjang pernikahan. Lebih-lebih, menikah bukanlah sekadar pelegalan hubungan seks laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, menikah adalah proses membangun keluarga. Karenanya butuh persiapan yang benar-benar matang, dari segi fisik maupun mental.
Di samping itu, perjalanan pernikahan tentu tidak semulus jalan tol.  Lika-liku permasalahan pasti dihadapi di tengah jalan.  Ketahanan suami isteri menghadapi badai rumah tangga menjadi kunci keberhasilan mempertahankan biduk rumah tangga.  Persiapan yang dilakukan sebelum mereka menikah menentukan semua itu.
Saat ini jamak dijumpai pasangan muda-mudi yang lebih rela menunda pernikahan dengan alasan belum ada kesiapan, baik yang berkaitan dengan materi maupun mental.  Oleh karena itu, persiapan menikah seharusnya dilakukan sedini mungkin.  Pada kondisi tertentu hal ini bisa menjadi jalan keluar bagi mereka yang sudah memiliki calon pasangan hidup untuk segera menikah sehingga terhindar dari dosa berpacaran dan pergaulan bebas.
Kesiapan menikah di usia dini bukan saja akan memberi kesempatan anak muda yang tengah bergejolak nafsunya untuk memperoleh kebaikan/pahala menikah sejak awal.  Di sisi lain, juga akan menyelamatkannya dari perbuatan dosa seperti pacaran, perzinahan dan sejenisnya tanpa harus khawatir kandas di tengah jalan.
Persiapan Menikah
Berikut ini diantara perkara yang mutlak disiapkan sebagai bekal untuk menikah:
Pertama, penguatan aqidah.  Setiap muslim wajib meyakini bahwa Allah SWT berkuasa memampukan hamba-hamba-Nya yang menikah di jalan-Nya.  Sikap tawakkal kepada Allah SWT juga harus dipupuk sejak dini sebagai bekal menapaki berbagai persoalan kehidupan rumah tangga.  Intinya, kekuatan aqidah menjadi benteng bagi setiap muslim dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.  Aqidah yang kuat juga akan menjaganya untuk tetap menyelesaikan semua persoalannya menurut hukum syariat.
Kedua, pemahaman konsep dasar pernikahan dalam Islam. Seorang muslim wajib memahami bahwa menikah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.  Ia bukanlah perjanjian antara orang berlainan jenis untuk hidup bersama.  Pernikahan harus senantiasa dibimbing oleh syariat, baik dalam tata penyelenggaraannya, maupun selama kehidupan pernikahan berlangsung.  Konsep dasar ini akan menentukan orientasi atau tujuan seseorang menikah.  Ia tidak akan mudah melepaskan ikatan pernikahan sebelum Allah berkenan untuk melepaskannya.
Ketiga, penguasaan hukum-hukum Islam seputar pernikahan. Setiap pasangan yang hendak menikah seharusnya menguasai pemahaman hukum-hukum syariah tentang pernikahan, mulai dari perkara yang harus dilakukan sebelum menikah seperti memilih calon suami/isteri, aturan khitbah, rukun nikah, masalah kehidupan rumah tangga, hak dan kewajiban suami isteri, masalah thalaq, hingga masalah pengasuhan anak dan silaturahmi.
Dengan pemahaman ini, pasangan yang hendak menikah memiliki bekal dan keyakinan bahwa biduk rumah tangga yang dijalaninya akan kokoh karena sudah dibangun berdasarkan ketentuan syariah.  Sang suami telah memilih isteri yang dianjurkan, melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan wali bagi anak-anaknya atau menjadi pemimpin dalam keluarga.  Demikian pula isteri, ia telah menjalankan ketaatannya kepada suaminya, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, atau bersama-sama suami menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabatnya dan lain sebagainya.  Semua itu akan terwujud dengan persiapan yang dilakukan sejak dini.
Keempat, membina diri menjadi muslim/muslimah berkepribadian Islam. Pembinaan kepribadian ini harus dilakukan sejak dini.  Seorang yang berkepribadian Islam akan berusaha mentaati seluruh aturan Allah SWT.  Muslim yang berkepribadian Islam akan bertanggung jawab dan membina diri menjadi calon pemimpin keluarga.  Demikian pula muslimah, ia harus menjaga kehormatannya dan membina diri menjadi calon manager (pengatur) rumah tangga.
Kepribadian Islam juga akan mengarahkan kecenderungan dan gejolak hawa nafsu seseorang senantiasa mengikuti aturan Allah.  Ia bukanlah orang yang mudah tergoda oleh kecantikan atau ketampanan orang yang bukan pasangannya (suami/isterinya).  Ia pun mampu mengendalikan gejolak emosinya sehingga tetap mampu berpikir jernih untuk mengisi kehidupan rumah tangganya dengan kebaikan.  Kepribadian yang tidak kuat akan mudah meruntuhkan bangunan rumah tangga.  Sayangnya, inilah yang sering terjadi pada pasangan nikah dini saat ini.  Mereka kurang memliki persiapan dari sisi ini, akibatnya cenderung merusak institusi keluarga yang seharusnya dijaga.
Kelima, pemahaman yang memadai tentang kesehatan fisik. Bagaimanapun, perjalanan pernikahan akan berkaitan dengan aktivitas fisik seseorang.  Bagi isteri, ia akan menjalani masa kehamilan dan menyusui.  Oleh karena itu, setiap muslim seharusnya memiliki pemahaman tentang tatacara menjaga organ-organ reproduksinya agar berfungsi dengan baik saat manjalani kehidupan rumah tangga.  Ia harus membiasakan menjaga kesehatan sejak dini sehingga terhindar dari penyakit yang bisa menghalangi fungsi-fungsinya sebagai isteri dan ibu.
Demikianlah diantara beberapa perkara yang harus disiapkan sebelum menikah.  Siapapun orangnya, baik yang masih belia maupun yang berusia matang, akan lebih mudah menjalani kehidupan rumah tangga bila semua persiapan tersebut telah dilakukan.
Tugas Bersama

Kini, menjadi tugas bersama untuk mewujudkan semua persiapan tersebut sejak dini.  Pemerintah seharusnya mempertimbangkan sistem pendidikan yang mengarahkan terwujudnya persiapan tersebut.  Dengan kesiapan ini, tak seharusnya pergaulan bebas menjadi pilihan pasangan muda mudi.  Dengan ini pula, tudingan miring pada pelaku nikah dini akan dieliminir karena mereka tetap mampu menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik.  Tingkat perceraian pun akan bisa diminimalisir karena ketahanan rumah tangga yang telah dibangun.
Demikianlah, setiap rumah tangga yang dibangun dengan persiapan yang matang akan melahirkan tujuan syariat yang dikehendaki.  Darinya terlahir keturunan yang shalih dan muslih, darinya pula terlahir keluarga yang mampu menopang berjalannya tatanan kehidupan masyarakat yang menjaga amar makruf nahi munkar.
Tentu saja, membina kesiapan menikah dalam sistem sekuler saat ini menjadi kesulitan tersendiri.  Oleh karena itu, seiring dengan upaya menyiapkan individu umat, selayaknya kita berupaya mengganti sistem sekuler ini dengan sistem Khilafah.  Karena hanya dalam sistem khilafah Islam saja semua persiapan menuju pernikahan akan sempurna dilaksanakan. Semoga kita dimudahkan untuk mewujudkannya.  Aamiin ya Robbal ‘Alamiin.

Sumber:http://hizbut-tahrir.or.id
baca selengkapnya “Persiapan Dini menuju Pernikahan”
Khilafah: Janji Allah Swt
23.09 | Author: Unknown
Di antara janji Allah SWT yang diberikan kepada umat Islam adalah istikhlaf fi al-ardh. Istikhlaf fi al-ardh bermakna menjadi penguasa atau pengatur urusan manusia (khalifah atau imam) di seluruh dunia. Janji yang agung ini difirmankan Allah SWT dalam al-Quran sebagai berikut:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa (QS an-Nur [24]: 55).
Imam Al-Baidhawi di dalam Tafsir al-Baydhawi menyatakan:
Frasa layastakhlifannahum artinya adalah: menjadikan mereka para khalifah pengatur bumi yang akan mengatur semua kekuasaan di dalam kekuasaan mereka. Hal itu sebagaimana halnya Allah telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, yakni Bani Israil yang berkuasa atas Mesir dan Syam setelah runtuhnya kekuasaan al-Jababirah (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, IV/197).

Di dalam beberapa hadis sahih, Nabi Muhammad saw. telah mengabarkan kabar gembira (bisyarah) kepada kaum Muslim tentang kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi. Rasulullah saw. antara lain pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبِهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُرِيَ لِي مِنْهَا…
Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dalam hal ini Imam an-Nawawi asy-Syafii ra. juga menyatakan:
…فِيْهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ مُلْكُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَكُوْنُ مُعْظَمُ اِمْتِدَادِهِ فِيْ جِهِتَي الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَهَكَذَا وَقَعَ وَأَمَّا فِيْ جِهَتَيْ الْجُنُوْبِ وَالشِّمَالِ فَقَلِيْلٌ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Di dalam hadis ini ada isyarat bahwa kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) pada arah timur dan barat. Inilah yang telah terjadi. Adapun pada arah selatan dan utara maka itu lebih kecil jika dinisbahkan pada timur dan barat (Imam Syams al-Haqq al-’Azhim, ’Awn al-Ma’bud bi Syarh Sunan Abu Dawud, IX/292).
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id
baca selengkapnya “Khilafah: Janji Allah Swt”
I’tikaf
23.04 | Author: Unknown
I’tikaf berasal dari kata ‘akafa–ya’kufu wa ya’kifu–‘akf[an] wa ‘ukûf[an]. I’tikaf secara bahasa artinya al-lubtsu wa al-habsu wa al-mulâzamah (diam, menahan adiri dan menetapi) (Imam an-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, kitab al-I’tikâf). I’tikaf juga berarti, luzûm asy-syay’i wa iqbâl ‘alayh (menetapi sesuatu dan menghadap padanya) (Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha; Muhammad ibn Abi al-Fatah al-Ba’li, al-Muthalli’).
Jadi, secara bahasa i’tikaf adalah luzûm asy-syay’i wa al-ihtibâs fîhi (menetapi sesuatu dan menahan diri di dalamnya), yaitu tidak menyibukkan diri dengan yang lain.
Kata ‘akafa dan bentukannya itu dinyatakan di dalam al-Quran sembilan kali. Tujuh kali di antaranya dalam makna bahasanya itu, yaitu QS al-A’raf [7]: 138; Thaha [20]: 91, 97; al-Anbiya’ [21]: 52; al-Hajj [22]: 25; asy-Syu’ara [26]: 71; dan al-Fath [48]: 25. Dua kali dalam makna syar’i-nya yaitu di QS al-Baqarah [2]: 125 dan 187.
Adapun secara syar’i, i’tikaf adalah al-lubtsu fî al-masjid muddat[an] ‘alâ shifah makhshûshah ma’a niyyah at-taqarrub ilalLâh (diam di masjidk selama jangka waktu tertentu dalam kondisi yang spesifik disertai niat taqarrub kepada Allah SWT (Syaikh Mahmud bin Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jâmi’ li Ahkâm ash-Shiyâm).

Beberapa Hukum Tentang I’tikaf
I’tikaf merupakan ibadah sunnah. Aisyah ra. menuturkan:
أَنَّ النَّبِىَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi saw. ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau ber-i’tikaf sepeninggal beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad).

Bahkan saat Nabi saw. tidak bisa ber-i’tikaf karena melakukan safar selama Ramadhan, beliau ber-i’tikaf selama dua puluh hari pada Ramadhan berikutnya. Ini menunjukkan bahwa i’tikaf merupakan taqarrub, yakni ibadah. Ibadah itu bisa fardhu atau sunnah. I’tikaf adalah ibadah sunnah. Abu Said al-Khudzri menuturkan, Rasulullah saw. bersabda, “Aku ber-i’tikaf sepuluh hari pertama mencari malam ini (Lailatul Qadar). Lalu aku ber-i’tikaf sepuluh hari pertengahan. Kemudian aku didatangi dan dikatakan kepadaku bahwa itu di sepuluh hari terakhir. Karena itu, siapa di antara kalian yang suka (mau) ber-i’tikaf hendaklah ia ber-i’tikaf.” Abu Said berkata, “Lalu orang-orang ber-i’tikaf bersama beliau.” (HR Muslim, al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Malik).
Rasul saw menyandarkan pelaksanaan i’tikaf itu kepada kesukaan (kemauan) orang-orang. Ini menunjukkan bahwa i’tikaf hukumnya sunah. Sebab jika wajib, niscaya tidak akan disandarkan pada kemauan orang.
I’tikaf dilakukan di masjid. Dalam hal ini tidak ada perbedaan, di masjid manapun seorang Muslim boleh ber-i’tikaf. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 187)
Selain itu banyak hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw. ber-i’tikaf hanya di masjid. Abu Said al-Khudzri menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda, “Aku diperlihatkan Lailatul Qadar, tetapi aku dilupakan (waktu persisnya). Karena itu, carilah di sepuluh hari terakhir pada malam ganjil. Aku diperlihatkan bahwa aku sujud di atas air dan tanah. Maka dari itu, siapa saja yang telah ber-i’tikaf bersama Rasulullah saw. hendaklah kembali (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).
Jika i’tikaf itu tidak harus di masjid, niscaya Nabi saw. tidak menyuruh para Sahabat untuk kembali ke masjid. Semua ini menunjukkan bahwa tempat i’tikaf itu di masjid. Kata al-masâjid atau al-masjid dalam hadis-hadis tentang i’tikaf merupakan kata umum, dan tidak ada nas yang mengkhususkan masjid tertentu saja. Karena itu, i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja, selama itu adalah masjid.

Waktu I’tikaf
Tentang waktu untuk ber-i’tikaf, tidak ada nas yang membatasi waktunya. Waktu untuk i’tikaf itu adalah sepanjang tahun, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. ‘Aisyah ra. Meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah ber-i’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal, yakni di akhir Syawal (riwayat al-Bukhari), atau awal Syawal (riwayat Muslim). Umar ra. pernah bercerita kepada Nabi ra. bahwa ia pernah ber-nadzar semasa Jahiliah untuk ber-i’tikaf semalam di Masjid al-Haram. Nabi saw. lalu bersabda, “Penuhi nadzar-mu!” (HR al-Bukhari). Di sini Nabi saw. tidak membatasi waktunya, artinya i’tikaf boleh malam apa saja sepanjang tahun. Memang, Nabi saw. mendawamkan ber-i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Itu sekadar menunjukkan keutamaannya. I’tikaf sendiri sah dilakukan kapan saja sepanjang tahun, hanya saja di bulan Ramadhan itu lebih utama, dan yang paling utama adalah di sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar. Karena itu, hendaknya seorang Muslim bersungguh-sungguh untuk bisa ber-i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, terutama untuk mencari keutamaan Lailatul Qadar.
Nabi saw. pernah ber-i’tikaf di bulan Syawal, dan itu bukan bulam puasa. Nabi saw. juga hanya menyuruh Umar ra. agar memenuhi nadzar i’tikaf-nya tanpa menyebutkan harus berpuasa. Jadi, shaum bukan syarat i’tikaf.
I’tikaf juga boleh dimulai kapan saja. Tidak ada nas yang menentukan waktu untuk memulai i’tikaf. Memang ada penuturan Aisyah ra., “Rasulullah saw., jika ingin ber-i’tikaf, menunaikan shalat subuh, lalu masuk ke tempat i’tikaf beliau.” (HR Muslim, an-Nasai, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad). Hadis ini hanya menjelaskan fakta i’tikaf yang dilakukan Nabi saw. Di dalamnya tidak ada penentuan waktu; juga tidak ada larangan untuk memulai i’tikaf di waktu lainnya.
Tentang berapa lama waktu i’tikaf, tidak ada nas yang menentukan batasan jangka waktunya. Karena itu, lamanya ber-i’tikaf kembali pada kemutlakannya. Untuk batas maksimalnya, para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimal jangka waktu i’tikaf. Sedangkan untuk batas minimal, maka batas minimalnya, adalah jangka waktu yang bisa disebut al-labtsu (diam). Imam asy-Syafii, Ahmad dan Ishaq ibn Rahuwaih mengatakan, bahwa minimal adalah apa yang disebut al-labtsu (diam) dan tidak disyaratkan duduk. Abdurrazaq meriwayatkan, Ya’la bin Umayyah ra.—seorang Sahabat—berkata, “Mari pergi bersama kami ke masjid lalu kita beri’tikaf di dalamnya sesaat.

Aktifitas Selama I’tikaf
Saat seseorang ber-i’tikaf, ia boleh keluar dari masjid untuk melakukan sesuatu yang harus dan mendesak dia lakukan saat itu dan hal itu tidak membatalkan i’tikaf-nya. Itu ada dua. Pertama, untuk melakukan kewajiban yang tidak bisa ditunda di waktu lain. Kedua, untuk memenuhi keperluannya sebagai manusia seperti mandi, buang hajat, muntah; mengambil makanan jika tidak ada yang mengantarkan kepadanya; mengambil selimut, mengambil kipas ketika kegerahan; dsb; atau sesuatu yang mendesak harus dia lakukan seperti anaknya sakit dan harus dibawa ke dokter/RS. Dalam kondisi demikian sang mu’takif boleh keluar dan mengantarkan anaknya ke dokter/RS, atau yang semisalnya. Semua itu boleh dilakukan oleh sang mu’takif dan tidak membatalkan i’tikaf-nya. Setelah melakukan semua itu, ia bias kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikaf-nya tanpa harus berniat kembali. Adapun hal-hal sunnah atau tidak mendesak dan bisa ditunda di waktu lain, maka jika ia keluar dari masjid untuk melakukannya, i’tikaf-nya batal atau terputus.
Saat ber-i’tikaf di masjid itu, semua hal yang dilarang dilakukan di dalam masjid, juga dilarang dilakukan oleh sang mu’takif dan tidak membatalkan i’tikaf-nya. Setelah melakukan semua itu, ia bisa kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikaf-nya tanpa mempengaruhi i’tikaf-nya.

I’tikaf
Wanita
Wanita sah ber-i’tikaf. Tempatnya adalah di masjid, terpisah dari laki-laki. Jika ia bersuami, maka i’tikaf-nya harus atas izin suaminya. Ia boleh ber-i’tikaf bersama suaminya ataupun tidak, asal i’tikaf-nya itu atas izin suaminya. Namun, ia tidak boleh ber-i’tikaf, jika dia punya suami atau anak yang masih kecil yang tidak ada yang merawat/melayani mereka, sebab hal itu adalah wajib bagi dirinya, sementara i’tikaf adalah sunnah. Jika keduanya berbenturan, yang wajib tentu harus dikedepankan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Sumber:http://hizbut-tahrir.or.id oleh:Yahya Abdurrahman
baca selengkapnya “I’tikaf”
Ramadhan Bagi Wanita Haid dan Nifas
23.02 | Author: Unknown
Shaum Ramadhan adalah salah satu ibadah yang tatacara pelaksana-annya sudah ditentukan Allah SWT dan diajarkan Rasulullah saw. (bersifat tawqifiyah). Kaum Muslim diperintahkan untuk melaksanakan shaum Ramadhan tanpa mengurangi dan menambahnya. Manusia tidak boleh mencari-cari hikmah dan manfaat ataupun alasan di balik pelaksanaan ibadah tersebut, kecuali apa yang telah disebutkan di dalam nash-nash syariah. Oleh karena itu, kaum Muslim wajib mengikuti semua bentuk perincian ibadah Shaum dengan mengacu pada al-Quran maupun as-Sunnah. Bilamana hal itu dilaksanakan dengan benar dan hanya mengharapkan ridha Allah SWT maka shaumnya akan meningkatkan derajat ketakwaannya.

Shaum Wanita Haid dan Nifas
Islam membedakan persoalan ibadah shalat dengan ibadah shaum bagi wanita haid dan nifas. Dalam perkara shalat, Allah SWT telah mengangkat kewajiban tersebut dari keduanya. Oleh karena itu, mereka tidak diperintahkan meng-qadha’ (mengganti) shalat selepas masa haid dan nifasnya. Namun, tidak demikian dengan shaum. Allah SWT tidak mengangkat taklif shaum dari keduanya. Allah SWT hanya mengundurkan waktu pelaksanaannya hingga selesai masa haid dan nifasnya. Oleh karena itu, wanita haid dan nifas wajib meng-qadha’ shaum saat masa haid dan nifasnya telah selesai. Mengapa terdapat perbedaan seperti itu?
Shaum maupun shalat merupakan bagian dari ibadah. Dalam hal ibadah, Allah SWT tidak memberikan ‘illat atas bentuk pelaksanaannya. Dalam persoalan ini pun, tidak ada satu pun nash yang menunjukkan atas ‘illat tentang perbedaan masalah tersebut. Oleh karena itu, selayaknya kita tidak perlu mencari-cari sebab mengapa aturan keduanya berbeda. Mu’adzah ra. bertanya, “Bagaimana orang haid harus meng-qadha’ shaum, sedangkan ia tidak harus meng-qadha’ shalat?” Aisyah ra. bertanya, “Apakah engkau seorang Khawarij Haruriyah?” Jawab dia, “Aku berkata, “Aku bukan seorang Haruriyah, tetapi aku sekadar bertanya.” Aisyah berkata, “Kami pernah mengalami hal itu, lalu kami diperintahkan untuk meng-qadha’ shaum dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat.” (HR Muslim, al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).
Wanita haid dan nifas diharamkan shaum selama darah masih mengalir pada masa haid atau nifasnya. Apabila haid atau nifas keluar meski sesaat sebelum magrib, ia wajib membatalkan shaumnya dan meng-qadha’ shaumnya pada waktu yang lain. Apabila darahnya terhenti pada malam hari (sebelum terbit fajar), maka shaum pada hari itu wajib atasnya dan sah walaupun ia mandi setelah terbit fajar. Sebab, yang menjadi penentu adalah mengalir atau tidaknya darah. Adapun mandi adalah perkara yang lain. Oleh karena itu, seorang wanita—jika telah terhenti darah haid atau nifasnya—wajib shaum Ramadhan. Jika hal ini terjadi pada siang hari maka ia wajib shaum saat itu juga meski harus meng-qadha’ pada waktu yang lain. Hal ini karena ia tidak memulai shaumnya sejak terbit fajar. Hal ini sebagaimana orang yang terlambat mendapatkan khabar datangnya bulan Ramadhan pada siang hari, ia wajib shaum pada sisa waktu (hari) yang ia dapati tetapi meng-qadha’ pada hari yang lain.

Qadha’
Shaum
Meng-qadha’ shaum sah dilakukan secara berturut-turut atau berselang-seling tanpa ada pengutamaan salah satu dari keduanya. Meng-qadha’ shaum Ramadhan juga sah dilakukan secara langsung setelah Hari Raya Idul Fitri (mulai tanggal 2 Syawal). Demikian pula qadha’ shaum sah dilakukan meski diakhirkan hingga bulan Sya’ban, beberapa saat sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. Dalil atas masalah ini adalah keumuman ayat:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Siapa saja di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah atas dirinya shaum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (QS al-Baqarah [2]: 184).

Ayat tersebut menetapkan qadha’ shaum secara mutlak tanpa batasan (taqyid) dan pengkhususan (takhsis). Hal ini menunjukkan adanya keluasan waktu meng-qadha’ shaum hingga sebelum datang Ramadhan berikutnya. Dalam hal ini para fukaha telah bersepakat. Dalil lainnya adalah dari Aisyah ra. yang berkata, “Aku tidak meng-qadha’ utang shaum Ramadhanku kecuali pada bulan Sya’ban hingga Rasulullah saw dimakamkan.” (HR Ibnu Khuzaemah, Tirmidzi dan Ahmad).
Jika seseorang—tanpa udzur—melalaikan qadha’ shaum hingga melewati Ramadhan berikutnya, maka ia dipandang sudah melalaikan kewajiban (al-mufarrith). Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang apakah ia harus membayar fidyah (sebagai kafarat) atas shaum yang dia tinggalkan ataukah tidak.
Abu Hanifah dan para sahabatnya, Ibrahim An-Nakha’i, Hasan al-Bashri, al-Muzani dan Dawud bin Ali berpendapat bahwa orang tersebut hanya wajib qadha’ saja. Adapun jumhur ulama berpendapat orang tersebut wajib meng-qadha’ shaum dan membayar fidyah (yaitu memberi makan orang miskin dari setiap hari shaumnya).
Pendapat seperti ini diriwayatkan berasal dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra.: Ibrahim berkata, “Jika seseorang melalaikan qadha’ hingga tiba Ramadhan berikutnya, ia harus meng-qadha’ shaum itu tanpa perlu memberi makan. Namun, ada riwayat dari Abu Hurairah secara mursal, dan dari Ibnu Abbas, bahwa orang tersebut harus memberi makan.” (HR al-Bukhari).
Pendapat yang lebih kuat adalah yang disampaikan oleh ulama Hanafiyah. Hal ini karena kewajiban membayar fidyah bagi orang yang melalaikan kewajiban qadha’ memerlukan nash syariah. Padahal tidak ada satu pun nash syariah yang datang dalam masalah ini. Memang, ada pernyataan yang dinukil at Thahawi dari Yahya bin Aktsam: Aku menemukan pendapat tentang fidyah ini dari enam orang Sahabat dan aku tidak mengetahui orang yang menyalahi mereka dalam masalah ini. Ternyata semua riwayat yang berasal dari Sahabat ini tidak terbukti kuat, karena diriwayatkan melalui jalur-jalur yang dhaif sehingga harus ditolak dan tidak boleh diikuti.
Sejumlah ahli fikh juga telah keliru tentang pernyataan Sahabat: “Sesungguhnya orang yang sakit jika tidak shaum Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya. Hendaknya ia shaum Ramadhan dan memberi makan pengganti Ramadhan yang luput kepada seorang miskin dari setiap harinya.” Pernyataan tersebut tertukar dengan riwayat-riwayat dhaif di atas sehingga mereka mewajibkan fidyah secara mutlak. Padahal yang benar, bagi orang yang sakit, sedangkan ia tidak mampu meng-qadha’ sepanjang tahun maka ia diwajibkan membayar fidyah saja (sebagaimana yang dinyatakan di dalam Al Quran).
Adapun bagi orang yang lalai meng-qadha’ shaum hingga beberapa Ramadhan maka kewajiban qadha’-nya tetap berlaku. Ia tidak cukup hanya meng-qadha’ Ramadhan yang terakhir saja. Ini karena qadha’ shaum Ramadhan tidak gugur dengan lewatnya waktu lebih dari satu tahun. Dengan melalaikan (mengakhirkan) qadha’ maka ia telah berdosa, dan ia tetap terkena beban untuk meng-qadha’ seluruh shaum yang pernah dia tinggalkan.

Amalan Ramadhan bagi Wanita Haid dan Nifas
Meski tidak shaum, wanita yang sedang haid dan nifas masih mempunyai kesempatan untuk meraih kemuliaan Ramadhan. Mereka harus bisa mengoptimalkan berbagai amalan yang berfungsi sebagai ‘pengganti’ amal shaum Ramadhan. Untuk itu, mereka dianjurkan untuk lebih meningkatkan berbagai amalan, di antaranya:
1. Berdzikir dan berdoa memohon ampunan Allah SWT
2. Bersedekah
3. Memberi makan orang yang berbuka shaum.
4. Meringankan pekerjaan orang yang shaum.
5. Menimba ilmu untuk meraih ketaatan yang lebih tinggi kepada Allah SWT.
6. Beramar makruf nahi mungkar.
7. Melaksanakan berbagai ketaatan sekaligus meminimalisasi kemaksiatan, karena setiap amal kebaikan di bulan Ramadhan dilipatgandakan pahalanya.
8. Dan lain-lain.

Oleh karena itu, selayaknya Muslimah yang sedang haid atau nifas tidak menghabiskan waktu dan energinya untuk sesuatu yang sia-sia. Sesungguhnya Bulan Ramadhan penuh dengan kemuliaan dan keberkahan. Tak seharusnya mereka jauh atau kosong dari suasana ruhiah Ramadhan. Banyak hal yang bisa dilakukan. Jika hal itu mampu mereka optimalkan sesungguhnya Allah SWT Maha Pemberi karunia kepada hamba-hamba-Nya yang sungguh-sungguh mencari karunia-Nya. Semoga Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terindah dari Ramadhan-Ramadhan yang pernah kita lalui.
Sumber:http://hizbut-tahrir.or.id oleh:[Noor Afeefa]
baca selengkapnya “Ramadhan Bagi Wanita Haid dan Nifas”
Pahala Yang Tak Pernah Terputus
22.59 | Author: Unknown
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ، وَطُورِ سِينِينَ، وَهَذَا الْبَلَدِ الأمِينِ، لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ، ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ، إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ، فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ، أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ،
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun; dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya; kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya? (QS al-Tin [95]: 1-8).

Surat ini dinamakan at-Tîn, diambil dari kata dalam ayat pertama. Menurut jumhur, surat yang terdiri dari delapan ayat ini termasuk Makkiyyah.
1 Pendapat ini juga dipilih oleh az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baghawi, Ibnu Juzyi al-Kalbi, as-Samarqandi, al-Jazairi, dan lain-ain.2 Adapun Ibnu Abbas dan Qatadah, sebagaimana diriwayatkan al-Qurthubi, menyebut surat ini sebagai Madaniyyah.3 Akan tetapi, riwayat tersebut berbeda dengan apa yang dikeluarkan oleh Ibnu Dhurais, an-Nahas, Ibnu Mardawih, dan al-Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas yang berkata, “Surat at-Tin diturunkan di Makkah.”4

Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa at-Tîn wa az-Zaytûn (Demi [buah] Tin dan [buah] Zaitun). Ayat ini diawali dengan wâwu al-qasam. Al-Muqsam bih (perkara yang dijadikan sebagai objek sumpah) adalah at-Tîn dan az-Zaytûn.
Sebagaimana dikutip Ibnu Jarir ath-Thabari, terdapat banyak penafsiran mengenai maksud at-tîn dan al-zaytûn dalam ayat ini. Sebagian mufassir menyatakan bahwa keduanya adalah nama buah yang sudah dikenal. At-Tîn adalah nama buah yang biasa dimakan dan al-zaytûn adalah nama buah yang biasa diperas. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, Ikrimah, Mujahid, Ibrahim an-Nakha’i, Atha’ bin Rabah, Jabir bin Zaid, Muqatil dan a-Kalbi.5 Menurut asy-Syaukani, ini merupakan pendapat kebanyakan mufassir.6
Penafsiran lainnya, seperti Kaab dan Ibnu Zaid at-Tîn adalah Masjid di Damaskus dan al-Zaytûn adalah Baitul Maqdis. Qatadah menyatakan bahwa at-Tîn adalah gunung di Damaskus dan al-Zaytûn adalah gunung di Baitul Maqdis.7
Pendapat yang benar, sebagaimana ditegaskan ath-Thabari, bahwa at-tîn adalah nama buah yang biasa dimakan dan al-zaytûn adalah nama buah yang biasa diperas minyaknya. Pengertian inilah yang sudah dikenal oleh bangsa Arab.8 Kesimpulan yang sama juga dikemukakan al-Qurthubi. Alasannya, pengertian tersebut bermakna hakiki. Makna hakiki itu tidak boleh dipalingkan menjadi majazi kecuali ada dalil yang memalingkannya.9
Beberapa mufassir mencoba menjelaskan kelebihan kedua buah tersebut. Adapun tentang buah zaitun, Rasulullah saw. bersabda:
كُلُوْا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوْا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
Makanlah buah Zaitun dan berminyaklah dengannya. Sebab, itu adalah pohon yang yang diberkati (HR al-Tirmidzi).

Kemudian dilanjutkan: wa Thûri Sînîna (demi Bukit Sinai). Dijelaskan ath-Thabari, yang dimaksud adalah nama sebuah gunung yang sudah dikenal. Sebab, ath-thûr adalah gunung yang terdapat tanamannya. Kata itu kemudian di-idhâfah-kan pada sinîn yang berguna sebagai ta’rîf bagi gunung tersebut.
10 Menurut kebanyakan mufassir, gunung tersebut adalah gunung yang menjadi tempat Musa ketika diseru Allah SWT.11
Allah SWT berfirman: Wa hâdzâ al-Balad al-Amîn (dan demi kota [Makkah] ini yang aman). Yang dimaksud dengan al-balad al-amîn adalah Makkah al-Mukarramah; negeri yang aman, baik di masa Jahiliah maupun Islam. Demikian menurut para mufassir, seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, ath-Thabari, asy-Syaukani, as-Suyuthi, al-Baghawi, Abu Hayyan, al-Baidhawi, dan lain-lain.12 Bahkan ditegaskan Ibnu ‘Athiyah, al-Alusi dan Ibnu Juzyi al-Kalbi, bahwa tidak ada perbedaan tentang ini.13 Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT (Lihat: QS al-Ankabut [29]: 67).
Setelah bersumpah, kemudian disebutkan: Laqad khalaqnâ al-insâna fî ahsan al-taqwîm (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya). Ini merupakan jawâb al-qasam sekaligus menjadi al-muqsam ‘alayh (perkara yang ditekankan dalam sumpahnya). Yang dimaksud dengan al-insân di sini adalah Adam dan anak-cucunya.14 Ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dalam keadaan ahsan at-taqwîm.
Menurut sebagian mufassir, keadaan terbaik itu fî khalq wa shûrah (dalam aspek badan dan bentuknya). Ini dikemukakan Ibnu Abbas, Ibrahim, Abu al-‘Aliyah, Mujahid dan Qatadah.15 Ibnu Katsir juga memaknai frasa ini sebagai husni shûrah wa syakl muntashib al-qâmah sawiyy al-a’dhâ` (bagus penampilan dan bentuknya, tegak posturnya, dan serasi anggota badannya).16 Tak jauh berbeda, al-Baghawi menafsirkan frasa tersebut sebagai a’dal qâmah wa ahsan shûrah (yang paling serasi posturnya dan paling bagus bentuknya). Hal itu disebabkan karena Allah SWT telah menciptakan semua hewan berjalan melata atau merangkak; berbeda dengan manusia yang diciptakan madîd al-qâmah (tegak posturnya). Ia makan dengan tangannya dan diperbagus lagi dengan akal dan tamyiz (kemampuan membedakan).17
Kemudian diingatkan: Tsumma radadnâhu asfala sâfilîn (kemudian Kami mengembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya). Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan asfala sâfilîn adalah ardzal al-‘umur (usia sangat tua yang paling lemah); yakni renta setelah muda, lemah setelah kuat hingga kembali seperti bayi sebagaimana kondisi awal. Demikian pendapat adh-Dhahhak dan al-Kalbi, Ibnu ‘Abbas, Ikrimah dan Ibrahim;18 juga al-Baghawi, asy-Syaukani, dan al-Wahidi.19
Ada juga yang menafsirkan bahwa asfal sâfilîn itu adalah neraka. Itulah tempat yang paling rendah dan paling buruk. Abu al-‘Aliyah, Mujahid, al-Hasan, dan Ibnu Zaid adalah di antara yang berpendapat demikian.20
Kemudian disebutkan: illâ al-ladzîna âmanû wa ‘amilû ash-shâlihât falahum ajr[un] ghayru mamnûn (kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya). Kata illâ memberikan makna ististnâ (pengecualian). Yang dikecualikan adalah orang-orang yang menggabungkan keimanan dengan amal salih dalam dirinya.
Menurut mufassir yang menafsirkan asfal sâfilîn sebagai ardzal al-‘umur (usia sangat tua yang paling lemah), maka istitsna` dalam ayat ini bersifat munqathi’ (pengecualian yang bersifat terpisah). Artinya, pengecualiannya berbeda dengan kalimat yang disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, orang yang beriman dan beramal salih itu tidak tercegah dari keadaan tersebut. Namun, saat itu mereka terus mendapatkan pahala sebagaimana mereka mereka masih muda dan sehat.21 Pahala mereka ghayru mamnûn, artinya ghayru maqthû’ (terputus). Pahala mereka terus berlanjut dan tidak terputus disebabkan ketaatan dan kesabaran mereka dalam ujian ketuaan dan kepikunan mereka.22
Adapun yang menafsirkan asfal al-sâlîn adalah neraka, maka istitsnâ‘ (pengecualian) terhadap orang-orang yang beriman dan beramal salih termasuk istitsnâ’ muttashil (pengecualian yang bersambung dengan kalimat sebelumnya) amat jelas; bahwa mereka tidak termasuk orang-orang yang dimasukkan ke dalam neraka. Bahkan lebih dari itu, mereka juga mendapatkan pahala yang tidak terputus.
Kemudian Allah SWT berfirman: Famâ yukadzdzibuka ba’d bi al-dîn (Maka dari itu, apakah yang menyebabkan kamu mendustakan [hari] pembalasan sesudah [adanya keterangan-keterangan] itu?). Kalimat istifhâm di sini bermakna li al-taqrî‘ wa at-tawbîkh wa ilzâm al-hujjah (untuk memberikan celaan dan teguran serta mengukuhkan argumentasi). Adapun kata al-dîn di sini bermakna pembalasan pada Hari Kiamat.
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Alaysa bi ahkam al-Hâkimîn (Bukankah Allah adalah Hakim yang seadil-adilnya?). Kalimat istifhâm, jika masuk kepada nafiyy, menghasilkan makna îjâb (positif). Dengan demikian, kalimat istifhâm ayat ini bermakna at-taqrîrî (mengukuhkan), bahwa Allah SWT benar-benar Hakim yang Mahaadil dan dan Mahabijaksana. Penjelasan ayat-ayat sebelumnya menjadi bukti amat jelas keadilan Allah tersebut. Selain itu, menurut az-Zamakhsyari dan an-Nasafi ayat ini juga mengandung ancaman keras bagi orang kafir.23 Mengenai ayat ini, Rasulullah saw.:
مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ بِ [اَلتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنَ] فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا [أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ] فَلْيَقُلْ: بَلَى، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ
Siapa saja yang membaca “At-Tîn wa az-Zaytûn” hingga akhirnya “Alaysa bi ahkam al-Hâkimîn”, hendaklah berkata, “Balâ, wa ana ‘alâ dzalika min asy-syâhidîn.” (HR al-Tirmidzi dari Abu Hurairah ra).

Raih Pahala Tak Terputus
Dalam surat ini terdapat banyak pelajaran penting yang dapat diambil. Pertama: besarnya kenikmatan Allah SWT kepada manusia dan kewajiban mensyukuri nikmat itu. Secara fisik, dibandingkan dengan semua makhuk lainnya di atas muka bumi ini, manusia adalah makhluk yang memiliki bentuk paling bagus, indah, serasi dan sempurna. Tak kalah pentingnya, manusia dikarunia akal dan kemampuan, mendengar, berpikir dan berbicara. Inilah perangkat paling esensial yang membedakan manusia dengan lainnya. Ini merupakan nikmat tak terkira. Ditegaskan dalam surat ini bahwa Allahlah yang telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik itu.
Secara tersirat dapat dipahami bahwa langkah untuk menjadi hamba-Nya yang bersyukur atas seluruh nikmat-Nya adalah dengan beriman dan beramal salih. Ketika ini dilakukan, mereka akan mendapatkan pahala yang amat besar; pahala yang tak terputus. Sebaliknya, jika semua kenikmatan itu justru membuat manusia lupa, ingkar terhadap Allah SWT dan melanggar syariah-Nya, maka kesengsaraanlah yang akan dialami. Mereka dimasukkan ke dalam neraka Jahanam; tempat yang paling rendah dengan aneka siksa yang amat menyakitkan.
Kedua: memahami kenikmatan duniawi secara benar; bahwa semua kenikmatan duniawi itu bersifat fana dan tidak abadi. Kenikmatan bentuk tubuh dan kecerdasan akal yang diberikan manusia suatu saat akan berakhir. Seiring dengan perjalanan usia manusia yang semakin lanjut dan renta, keindahan tubuhnya akan pudar, bahkan lenyap tak bersisa. Rambutnya rontok dan memutih. Giginya tanggal satu persatu. Pandangan matanya kian kabur. Kulitnya menjadi berkeriput. Kekuatan fisiknya semakin melemah dan tak berdaya. Kecerdasan dan kepintarannya terus berkurang hingga menjadi pikun. Berbagai penyakit pun datang mendera. Inilah daur yang akan dialami oleh manusia tatkala usianya telah senja. Sebagaimana dijelaskan oleh sebagian para mufassir, inilah pengertian asfala sâfilîn yang disebutkan dalam surat ini. Maka dari itu, betapa merugi orang-orang yang tidak menggunakan semua kenikmatan itu dengan benar saat kenikmatan itu masih ada. Saat kenikmatan sudah tiada, yang ada hanya tinggal penyesalan tak berguna.
Ketiga: pahala bagi orang Mukmin yang bertakwa. Dalam surat ini ditegaskan bahwa Mukmin yang menaati syariah-Nya tidak dikembalikan pada asfala sâfilîn jika yang dimaksud dengannya adalah dimasukkannya ke dalam neraka. Ditambah lagi dengan pahala yang terputus, jelas merupakan keuntungan yang luar biasa. Betapa tidak, keimanan dan ketaatan semasa di dunia yang tak terlalu lama itu dibalas dengan pahala dan surga.
Namun, jika yang dimaksud dengan asfa sâfilîn adalah usia senja yang paling lemah, mungkin mereka juga mengalami problem sebagaimana layaknya orang berusia lanjut. Namun, mereka tidak perlu bersedih dan merasa menderita. Sebab, saat mereka bersabar dan berusaha tetap menaati syariah-Nya, mereka dijanjikan mendapatkan pahala. Bahkan sekalipun mereka tidak bisa beramal salih sebagaimana dia lakukan semasa masih muda, sehat dan kuat, mereka masih bisa berharap pahalanya terus mengalir.
Penjelasan ini sejalan dengan Hadis Nabi saw.:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا
Jika hamba itu sakit atau melakukan perjalanan, dicatatkan untuk dia pahala seperti amalan yang biasa dia lakukan saat mukim dan sehat (HR al-Bukhari).

Oleh karena itu, dalam surat ini terdapat dorangan amat besar bagi setiap manusia yang masih muda, kuat dan sehat untuk segera beramal salih. Membiasakan dirinya untuk taat kepada Allah SWT dan giat memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. Jika suatu saat ia tidak mampu melakukannya lagi, insya Allah pahalanya akan tetap berlanjut dan tak terputus.
Keempat: keadilan hukum Allah SWT. Ayat terakhir surat ini jelas menegaskan pengertian demikian. Dengan adanya Hari Kiamat, manusia benar-benar akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya. Tidak ada yang dizalimi. Ini termasuk bukti paling jelas keadilan Allah SWT. Keadilan hukum Allah SWT ini tidak hanya terjadi di akhirat kelak saja. Semua hukum dalam syariah-Nya adalah adil. Oleh karena itu, siapa pun yang menginginkan keadilan, tidak ada pilihan lain kecuali harus menerapkan syariah-Nya secara kaffah di muka bumi; bukan hukum yang dibuat oleh hawa nafsu sekelompok manusia. Jika itu yang diterapkan, bukan keadilan yang didapat, namun justru kezaliman dan kerusakan yang terjadi (Lihat: QS al-Maidah [5]: 50). WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Sumber:http://hizbut-tahrir.or.id
baca selengkapnya “Pahala Yang Tak Pernah Terputus”
Kenapa Kita Membutuhkan Khilafah ?
22.54 | Author: Unknown
Adanya seruan segelintir pihak yang meminta agar pemerintah membubarkan ormas Islam yang menyerukan Khilafah tentu patut kita pertanyakan. Mengingat kewajiban penegakan Khilafah adalah kewajiban syar’i yang memiliki dalil-dalil yang jelas berdasarkan Al Qur’an , As Sunnah , dan Ijma’ Shahabah.Tidaklah mengherankan kalau para imam madzhab dan para ulama bersepakat tentang kewajiban.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat, maupun ulama, mengenai wajibnya mengangkat khalifah, kecuali al-‘Asham. Senada dengan itu, Imam an Nawawi dalam kitabnya Syarah Shohih Muslim menulis bahwa umat dan ulama telah bersepakat tentang kewajiban ini.
Keberadaan Khilafah mutlak diperlukan berkaitan dengan tiga perkara penting dalam Islam. Pertama , kewajiban penegakan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) yang merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim. Mustahil hal tersebut terwujud tanpa adanya Khilafah. Sebab , hanya sistem Khilafahlah yang memiliki pilar yang jelas yaitu kedaulatan di tangan hukum syara’. Sementara sistem yang lain seperti demokrasi, kerajaan, atau teokrasi menyerahkan kedaulatan sumber hukum kepada manusia.
Kedua, Khilafah adalah dibutuhkan oleh umat untuk persatuan umat Islam. Kewajiban persatuan umat Islam adalah perkara mutlak (qot’i) yang diperintahkan hukum syara’. Persatuan umat tidak bisa dilepaskan dari kesatuan kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia. Dan hal ini akan terwujud kalau ditengah-tengah umat Islam ada satu Kholifah untuk seluruh dunia Islam.
Tentang wajibnya satu pemimpin bagi umat Islam seluruh dunia ini, ditegaskan oleh Rosulullah SAW dalam hadistnya tentang kewajiban membai’at seorang Kholifah dan memerintahkan untuk membunuh siapapun yang mengklaim sebagai kholifah yang kedua , setelah kholifah yang pertama ada. Rosulullah SAW bersabda : Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.(HR Muslim). Berdasarkan hal ini Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”
Sementara itu sistem nation state (negara bangsa) dan kerajaan yang diadopsi oleh umat Islam sekarang nyata-nyata telah memecahbelah umat Islam dan menghalangi kepemimpinan tunggal di tubuh umat Islam.
Perkara ketiga, Khilafah dibutuhkan oleh umat untuk mengurus dan melindungi umat Islam. Sebab fungsi Imam yang menjadi kepala negara (kholifah) yang utama dalam Islam adalah ar ro’in (pengurus) dan al junnah (pelindung) umat .
Berdasarkan hal ini adalah kewajiban negara untuk menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan). Termasuk menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh rakyatnya. Untuk itu Kholifah akan mengelola dengan baik pemilikan umum (milkiyah ‘amah) seperti tambang emas, minyak, batu bara, yang jumlahnya melimpah untuk kepentingan rakyat.
Sementara dalam sistem demokrasi, pemimpin bukan lagi menjadi pengurus masyarakat, tapi pemalak rakyat untuk kepentingan pemilik modal. Politik demokrasi menjadi mesin uang untuk mengembalikan modal politik yang mahal atau memberikan jalan kolusi bagi kroni-kroni elit politik untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan cara korupsi dan kolusi .
Tidak adanya Khilafah telah membuat umat Islam tidak ada yang melindungi. Selain tanah dan kekayaan mereka dirampok, jutaan umat Islam dibunuh oleh para penjajah. Nyawa umat Islam demikian murah tanpa ada yang melindungi. Padahal Rosulullah SAW dengan tegas mengatakan bahwa bagi Allah hancurnya bumi beserta isinya, lebih ringan dibanding dengan terbunuhnya nyawa seorang muslim tanpa alasan yang hak.
Terbukti sudah keberadaan penguasa muslim sekarang tidak bisa melindungi umatnya. Bahkan mereka pembunuh rakyatnya sendiri. Mereka memberikan jalan kepada negara-negara imperialis untuk membunuh rakyatnya sendiri atas nama perang melawan terorisme.
Lantas, dimana letak bahayanya Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam yang bersumber dari Allah SWT , Khilafah yang akan mempersatukan umat, Khilafah yang akan mengurus dan melindungi umat ?
Memang kembalinya Khilafah sangat berbahaya bagi negara-negara penjajah sebab akan menghentikan penjajahan mereka di dunia Islam. Khilafah juga berbahaya bagi penguasa-penguasa negeri Islam yang menjadi boneka Barat yang menumpahkan darah umat Islam dan memberikan jalan merampok negeri Islam. Sebab Khilafah akan menumbangkan pemimpin-pemimpin pengkhianat seperti ini.
Walhasil siapapun mempropagandakan bahaya khilafah atau menghalang-halangi tegaknya Khilafah, sadar atau tidak, langsung atau tidak , telah menjadi corong para penjajah. Mereka sesungguhnya bukan berpihak pada umat Islam dan Islam ! Na’udzubillahi min dzalik.
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id oleh:(Farid Wadjdi)

baca selengkapnya “Kenapa Kita Membutuhkan Khilafah ?”

Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat: Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.
Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…
Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu.
Apabila engkau berlimpah nikmat
maka jagalah, karena maksiat
akan membuat nikmat hilang dan lenyap
Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.
Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya
Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.
Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…
Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…
Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.
Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.
Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.
Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri ‘anil Ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com

baca selengkapnya “10 Nasihat Ibnul Qayyim Untuk Bersabar Agar Tidak Terjerumus Dalam Lembah Maksiat”