8 Pengaruh Buruk dari Doa-doa Bid’ah
18.42 | Author: Unknown
Doa-doa syar’i dan dzikir-dzikir yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mempunyai ciri khusus yaitu sempurna isi dan maknanya. Lafazh-lafazh dan ungkapannya ringkas, makna serta kandungannya agung dan luas, mencakup segala kebaikan, meliputi tujuan-tujuan yang tinggi, cita-cita yang agung, dan kebaikan-kebaikan yang banyak. Oleh karena itu sebaiknya bagi setiap muslim bahkan wajib baginya bersungguh-sungguh sesuai kemampuannya untuk mempelajari, menghafal, dan beribadah dengannya, meninggalkan wirid-wirid dan doa-doa buatan manusia yang disusun oleh para syaikh sesat dan da’i batil serta yang menhalangi kebanyakan muslimin yang awam dan tidak mengerti dari doa-doa serta dzikir-dzikir yang disyariatkan.
Bagi yang memerhatikan keadaan sebagian kaum muslimin utamanya orang-orang yang tergabung dalam tarekat sufiyah akan menemukan bahwa mereka justru sibuk dengan dzikir-dzikir buatan manusia dan doa-doa bid’ah. Mereka membacanya siang dan malam, pagi dan sore, meninggalkan kitabullah, berpaling dari doa-doa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Kemudian masing-masing orang dari kelompok itu mempunyai wirid sendiri yang mereka baca dengan cara khusus dan gaya tertentu. Jadi tiap kelompok dari tarekat sufiyah mempunyai doa dan wirid khusus dan
“Masing-masing golongan bangga akan ajaran yang ada pada mereka.” (Al-Mu’minun: 53)
Masing-masingnya meyakini bahwa wiridnya lebih afdhal daripada wirid tarekat lainnya!
Dan tidak diragukan lagi bahwa doa-doa bid’ah itu mempunyai dampak dan pengaruh yang disesalkan serta jelek bagi kaum muslimin menyangkut akidah dan amal ibadahnya di mana pengaruh jeleknya banyak dan tidak terhitung. Syaikh Jailan bin Khadlar al-’Arusi telah meringkasnya dalam kitabnya yang bagus Du’a wa Manzilatuhu minal Aqidah Al-Islamiyyah (Doa dan Kedudukannya dalam Aqidah Islamiyah) yang akan saya sebutkan dalam beberapa poin berikut ini:

• Pertama: Doa-doa bid’ah tidak dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkan dari tujuan ibadah-ibadah seperti menyucikan dan membersihkan jiwa dari dosa-dosa, mendekatkan diri kepada pencipta, ketergantungan kepada Rabb dengan harap, cinta, dan takut. Jadi doa tersebut diibaratkan tidak dapat memuaskan orang yang haus dan mengenyangkan orang yang lapar.
Sementara doa-doa yang syar’i merupakan doa yang manjur yang mengobati penyakit-penyakit jasmani dan jiwa serta hawa nafsu setan. Barangsiapa menggantikan doa syar’i dengan doa selainnya sungguh ia menggantikan sesuatu yang baik dengan sesuatu yang jelek.

• Kedua: Doa-doa bid’ah menghilangkan pahala dan ganjaran yang besar yang dapat dihasilkan dari percikan karunia Rabb bagi orang yang berpegang, menjaga, dan mempraktikkan doa-doa syar’i. Sebaliknya doa-doa bid’ah dapat menghilangkan pahala serta mengundang murka dan marah Allah.

• Ketiga: Doa-doa bid’ah tidak dikabulkan padahal tujuan utama dan pondasi bagi orang yang berdoa pada umumnya adalah minta dikabulkan permintaannya, meraih keinginannya, dan terhindar dari sesuatu yang dibencinya. Doa-doa yang bid’ah tidak menghasilkan ini semua. Dalam hadits disebutkan:
“Barangsiapa mengamalkan satu amalan yang bukan dari perintahku maka ia tertolak.” (Shahih Muslim, 3/1343)

• Keempat: Pada umumnya doa-doa bid’ah mengandung perkara yang dilarang secara syar’i. Terkadang yang dilarang itu bagian dari perantara syirik, karena kebid’ahan itu pada umumnya menyeret pada kesyirikan dan kesesatan. Termasuk doa bid’ah yang menyeret kepada kesyirikan adalah tawassul bid’ah. Dialah yang membuka pintu untuk berdoa, meminta tolong dan bantuan kepada selain Allah. Terkadang yang dilarang merupakan perkara yang melampaui batas dalam doa seperti melampaui batas dalam hal adab berbicara kepada Allah dan terkadang yang dilarang itu mengandung kebid’ahan lain berupa pembatasan doa pada waktu tertentu dan sifat khusus, mengeraskan suara dengan nada yang sama, (dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu, sajak-sajak yang tersusun serta susunan bahasa yang rancu yang tidak enak didengar serta dianggap jelek oleh perasaan yang halus.

• Kelima: Doa-doa bid’ah yang telah dibiasakan dan dipegang teguh akan menjauhkan orang yang komitmen dengannya kembali bertaubat kepada doa-doa yang disyariatkan kecuali orang yang diberi taufik dan hidayah kepada kebaikan. Karena manakala hati sibuk dengan kebid’ahan maka ia berpaling dari sunnah-sunnah, di mana orang yang komitmen dengan doa bid’ah meyakininya sebagai doa yang disyariatkan serta membelanya, tidak mau mendengar hujjah maupun dalil.

• Keenam: Menggunakan doa-doa bid’ah dan meninggalkan doa-doa yang disyariatkan termasuk menggantikan perkara yang baik dengan perkara yang kotor, yang bermanfaat dengan yang membahayakan, yang baik dengan kejelekan, yang demikian ini tidak diragukan lagi merupakan kerugian yang nyata.

• Ketujuh: Doa-doa bid’ah menyerupai ahli kitab yang menciptakan doa-doa yang menyelisihi doa-doa yang dibawa nabi-nabi mereka, menyerupai dalam hal nada, senandung, goyangan, dan selain itu.

• Kedelapan: Kebanyakan orang yang berpegang teguh dengan doa-doa bid’ah tidak mengetahui maknanya, tidak memerhatikan lafazh-lafazhnya, dan membacanya tanpa tadabbur. Padahal adab doa adalah menghadirkan hati dan ikhlas dalam meminta. Terlebih kebanyakan doa bid’ah itu berupa ungkapan-ungkapan yang disusun dari makna yang sulit dipahami dan gelap arahnya. Maka orang yang berdoa dengan doa bid’ah ini sebenarnya tidak sedang meminta dan berdoa, bahkan sekadar mengisahkan ucapan orang lain. Lebih memilih doa tersebut karena kebagusan susunan dan kekaguman ciptaannya daripada doa syar’i yang merupakan pengagungan terhadap doa yang ia susun, mengangkatnya di atas kedudukan yang semestinya di mana ia meyakini bahwa doanya memiliki kekhususan yang tidak ditemukan pada doa selainnya. Jika tidak demikian niscaya ia tidak merutinkan doanya siang dan malam bahkan sebagian mereka menegaskan bahwa wirid gurunya merupakan wirid yang paling sempurna dan lengkap.
Dari sini diketahui sejauh mana pelanggaran dan besarnya bahaya doa-doa ciptaan manusia atas kaum muslimin. Maka wajib bagi tiap muslim untuk berhati dan menjauhinya, mencukupkan diri dengan wirid yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan wirid yang paling bagus dan benar.
Dan kami memohon kepada Allah yang Maha Pemurah agar memberikan karunia kekokohan di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, mengikuti petunjuk, meniti jejak, dan menempuh manhajnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar doa dan Dekat.
Sumber: Tafsir Tasbih, Tahmid, Takbir, Tahlil & Doa karya Asy-Syaikh Abdurrazzaq Al-’Abbad (penerjemah: M. Hamdani), penerbit: Pustaka Ar-Rayyan, hal. 440-443.
baca selengkapnya “8 Pengaruh Buruk dari Doa-doa Bid’ah”
Adab-adab Makan
03.40 | Author: Unknown
a. Memulai makan dengan mengucapkan Bismillah.
Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila salah seorang diantara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismilah.’ Dan jika ia lupa untuk mengucapkan Bismillah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan ‘Bismillahi Awwalahu wa Aakhirahu (dengan menyebut nama Allah di awal dan diakhirnya).’” (HR. Daud Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Ibnu Majah: 3264)


b. Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa telah selesai makan hendaknya dia berdo’a: “Alhamdulillaahilladzi ath’amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin. Niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Daud, Hadits Hasan)
Inilah lafadznya,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وََرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حوْلٍ مِنِّي وَ لاَ قُوَّةٍ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan ini kepadaku dan yang telah memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.”
Atau bisa pula dengan doa berikut,

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَنْدًا كثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ غَيْرَ (مَكْفِيٍّ وَ لاَ) مُوَدَّعٍ وَ لاَ مُسْتَغْنَيً عَنْهُ رَبَّناَ

“Segala puji bagi Allah dengan puja-puji yang banyak dan penuh berkah, meski bukanlah puja-puji yang memadai dan mencukupi dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari VI/214 dan Tirmidzi dengan lafalnya V/507)

c. Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan menggunakan tiga jari.” (HR. Muslim, HR. Daud)

d. Hendaknya menjilati jari jemarinya sebelum dicuci tangannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila salah seorang diantara kalian telah selesai makan maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilati (oleh Isterinya, anaknya).” (HR. Bukhari Muslim)

e. Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya.
Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang diantara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan.” (HR. Muslim, Abu Daud)

f. Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin, hal ini berlaku pula pada minuman. Apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas, dan ketika minum hendaknya menjadikan tiga kali tegukan.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. At Tirmidzi)

g. Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk bernafasnya.” (HR. Ahad, Ibnu Majah)

h. Makan memulai dengan yang letaknya terdekat kecuali bila macamnya berbeda maka boleh mengambil yang jauh.
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai anak muda, sebutkanlah Nama Allah (Bismillah), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.” (HR. Bukhari Muslim)

i. Hendaknya memulai makan dan minuman dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilakan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki derajat keutamaan.

j. Ketika makan hendaknya tidak melihat teman yang lain agar tidak terkesan mengawasi.

k. Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan.

l. Jika makan bersama orang miskin, maka hendaklah kita mendahulukan mereka.

Maroji’:
Disadur dari: Adab adab Harian Muslim, Ibnu Katsir
baca selengkapnya “Adab-adab Makan”
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa syariat tidak memperbolehkan wanita menjadi pemimpin:
Alasan Pertama: Pemimpin wanita pasti merugikan
Abu Bakrah berkata,
لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ –‏‎ ‎صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ‏‎ ‎فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ‏‎ ‎بِنْتَ كِسْرَى قَالَ » لَنْ‏‎ ‎يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا‎ ‎أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ” Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”.” (HR. Bukhari no. 4425)
Dari hadits ini, para ulama bersepakat bahwa syarat al imam al a’zhom (kepala negara atau presiden) haruslah laki-laki. (Lihat Adhwa ’ul Bayan, 3/34, Asy Syamilah)
Al Baghowiy mengatakan dalam Syarhus Sunnah (10/77) pada Bab ”Terlarangnya Wanita Sebagai Pemimpin”: ”Para ulama sepakat bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga hakim. Alasannya, karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga seorang pemimpin negara haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin. Seorang hakim haruslah bisa menyelesaikan sengketa. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak diperkenankan berhias (apabila keluar rumah). Wanita itu lemah, tidak mampu menyelesaikan setiap urusan karena mereka kurang (akal dan agamanya). Kepemimpinan dan masalah memutuskan suatu perkara adalah tanggung jawab yang begitu urgen (penting). Oleh karena itu yang menyelesaikannya adalah orang yang tidak memiliki kekurangan (seperti wanita) yaitu kaum pria-lah yang pantas menyelesaikannya.”
Alasan Kedua: Wanita kurang akal dan agama
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ‏‎ ‎عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ‏‎ ‎الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ‏‎ ‎إِحْدَاكُنَّ
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)
Apa yang dimaksud dengan kurang akal dan agamanya?
Ada yang menanyakan kepada Syaikh ’Abdul Aziz bin ’Abdillah bin Baz: Saya seringkali mendengar hadits ”wanita itu kurang akal dan agamanya.” Dari hadits ini sebagian pria akhirnya menganiaya para wanita. Oleh karena itu –wahai Syaikh- kami memintamu untuk menerangkan makna hadits ini.
Adapun makna hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
ما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب للب‎ ‎الرجل الحازم من إحداكن فقيل يا رسولا‎ ‎لله ما نقصان عقلها ؟ قال أليست‎ ‎شهادة المرأتين بشهادة رجل ؟ قيل يا‎ ‎رسول الله ما نقصان دينها ؟ قالأ‎ ‎ليست إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” Lalu ada yang menanyakan kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud kurang akalnya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah persaksian dua wanita sama dengan satu pria?” Ada yang menanyakan lagi, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang agamanya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah ketika seorang wanita mengalami haidh, dia tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak dapat berpuasa?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kurang akalnya adalah dari sisi penjagaan dirinya dan persaksian tidak bisa sendirian, harus bersama wanita lainnya. Inilah kekurangannya, seringkali wanita itu lupa. Akhirnya dia pun sering menambah-nambah dan mengurang-ngurangi dalam persaksiannya. Oleh karena itu, Allah Ta ’ala berfirman,
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ‏‎ ‎رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا‎ ‎رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ‏‎ ‎وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ‏‎ ‎مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ‏‎ ‎إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ‏‎ ‎إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Yang dimaksud dengan kurangnya agama adalah ketika wanita tersebut dalam kondisi haidh dan nifas, dia pun meninggalkan shalat dan puasa, juga dia tidak mengqodho shalatnya. Inilah yang dimaksud kurang agamanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/292)
Alasan Ketiga: Wanita ketika shalat berjama’ah menduduki shaf paling belakang
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ‏bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ‏‎ ‎أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا‎ ‎وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ‏‎ ‎آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan.” (HR. Muslim no. 440)
Alasan Keempat: Wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dengan wali
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101 dan Ibnu Majah no. 1880. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Alasan Kelima: Wanita menurut tabiatnya cenderung pada kerusakan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ‏‎ ‎خَيْرًا ، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ‏‎ ‎مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ أَعْوَجَ‏‎ ‎شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ،‏‎ ‎فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ‏‎ ‎كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ‏‎ ‎يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا‎ ‎بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Bersikaplah yang baik terhadap wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik terhadap wanita.” (HR. Bukhari no. 5184)
Alasan Keenam: Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui
Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ‏‎ ‎الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ‏‎ ‎ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ‏‎ ‎ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي‎ ‎لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ‏‎ ‎الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ‏‎ ‎يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ‏‎ ‎يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ‏‎ ‎أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Tholaq : 4)
Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai pemimpin?
Alasan Ketujuh: Wanita mudah putus asa dan tidak sabar
Kita telah menyaksikan pada saat kematian dan datangnya musibah, seringnya para wanita melakukan perbuatan yang terlarang dan melampaui batas seperti menampar pipi, memecah barang-barang, dan membanting badan. Padahal seorang pemimpin haruslah memiliki sifat sabar dan tabah.
Di Mana Kepemimpinan Wanita?
Wanita hanya diperbolehkan menjadi pemimpin di rumahnya, itu pun di bawah pengawasan suaminya, atau orang yang sederajat dengannya. Mereka memimpin dalam hal yang khusus yaitu terutama memelihara diri, mendidik anak dan memelihara harta suami yang ada di rumah. Tujuan dari ini semua adalah agar kebutuhan perbaikan keluarga teratasi oleh wanita sedangkan perbaikan masyarakat nantinya dilakukan oleh kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا‎ ‎تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ‏‎ ‎الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى‎ ‎وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ‏‎ ‎الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ‏‎ ‎وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ‏‎ ‎اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ‏‎ ‎الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ‏‎ ‎وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا‎ ‎رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ‏‎ ‎رَعِيَّتِهَا
“Dan wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya.” (HR. Bukhari no. 2409)
Kita hendaknya menerima ketentuan Allah yang Maha Bijaksana ini. Bukanlah Allah membendung hak asasi manusia, tetapi Dialah yang mengatur makhluk-Nya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan kebahagiaannya masing-masing.
Masih Ngotot Adanya Persamaan Gender?
Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, “Masing-masing wajib mengimani dan menerima bahwa harus ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik dari segi lahir dan batin, menurut tinjauan syari’at Islam. Masing-masing harus ridho dengan taqdir Allah dan syari’at Islam.
Perbedaan ini adalah semata-mata menuju keadilan, dengan perbedaan ini kehidupan bermasyarakat menjadi teratur. Tidak boleh masing-masing berharap memiliki kekhususan yang lain, sebab akan mengundang kemarahan Allah, karena masing-masing tidak menerima ketentuan Allah dan tidak ridho dengan hukum dan syari’at-Nya. Seorang hamba hendaknya memohon karunia kepada Rabbnya. Inilah adab syari’at Islam untuk menghilangkan kedengkian dan agar orang mukmin ridha dengan pemberian Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman di dalam surat An Nisaa’ ayat 32 yang maksudnya adalah kita dilarang iri dengan kedudukan orang lain.
Selanjutnya, jika hanya berharap ingin meraih sifat lain jenis dilarang di dalam Al Qur’an, maka bagaimana apabila mengingkari syari’at Islam yang membedakan antara laki-laki dan wanita, menyeru manusia untuk menghapusnya, dan menuntut supaya ada kesamaan antara laki-laki dan wanita, yang sering disebut dengan istilah emansipasi wanita. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah teori sekuler, karena menentang taqdir Allah ….” (Hirosatul Fadhilah)
Sadarlah!
Inilah ketentuan di dalam Islam. Tentunya bila dilaksanakan, kebaikan dan kejayaan akan diraih kaum muslimin sebagaimana yang pernah dialami para Rasul, para sahabatnya, dan generasi sesudahnya. Tetapi jika peraturan ini dilanggar, jangan berharap perdamaian di dunia apalagi kenikmatan di akhirat. Tetapi lihatlah perzinaan dan fitnah wanita serta kehancuran aqidah, ibadah, akhlaq, dan ekonomi yang ini tidak bisa kita tutupi lagi, belum lagi besok di alam kubur, belum lagi di alam akhirat.
Ya Allah, tunjukilah kami (dengan izin-Mu) pada kebenaran dari apa-apa yang kami perselisihkan di dalamnya. Sesungguhnya Engkaulah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shalallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Sumber: http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2985-alasan-wanita-tidak-pantas-jadi-pemimpin.html
baca selengkapnya “7 Alasan Kenapa Wanita Haram Menjadi Pemimpin”
Berdiri yang Dilarang
14.48 | Author: Unknown
Anas bin Malik berkata, “Tak seorang pun yang lebih dicintai oleh para shahabat daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi, bila mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau. Sebab mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut.” (HR. At-Tirmidzi, hadits shahih)
1. Hadits di atas mengandung pengertian, bahwa seorang muslim yang suka dihormati dengan berdiri, ketika ia masuk suatu majlis, maka ia menghadapi ancaman masuk neraka. Sebab para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang sangat cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja, bila mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam suatt majlis, mereka tidak berdiri untuk beliau. Karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka yang demikian.
2. Orang-orang biasa berdiri untuk menghormati sebagian mereka. Apalagi jika seorang syaikh (tuan guru) masuk untuk memberikan pelajaran, atau untuk memimpin ziarah ke tempat-tempat tertentu. Juga bila bapak guru masuk ke ruang kelas, anak-anak segera berdiri untuk menghormatinya. Anak yang tidak mau berdiri akan dikatakan sebagai tidak beradab, dan tidak hormat kepada guru.
Diamnya syaikh dan bapak guru terhadap penghormatan dengan berdiri itu, atau peringatan terhadap anak yang tidak mau berdiri menunjukkan syaikh dan bapak guru senang dihormati dengan berdiri. Dan itu berarti -sesuai dengan nash hadits di atas- mereka menghadapi ancaman masuk neraka.
Jika keduanya tidak suka penghormatan dengan berdiri, atau membencinya tentu akan memberitahukan hal tersebut kepada para anak didik. Selanjutnya meminta agar agar mereka tidak lagi berdiri setelah itu. Lalu menjelaskan hal tersebut dengan menguraikan hadits-hadits tentang larangan penghormatan dengan berdiri.
Membiasakan diri untuk menghormati orang alim atau orang yang masuk suatu majlis, akan melahirkan di hati keduanya kesenangan untuk dihormati dengan cara berdiri. Bahkan jika seseorang tidak berdiri, ia akan merasa gelisah. Orang-orang yang berdiri itu menjadi penolong setan dalam hal senang penghormatan dengan cara berdiri bagi orang yang hadir. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jangan kalian menjadi penolong setan atas saudaramu.” (HR. Al-Bukhari)
3. Banyak orang mengatakan, kami berdiri kepada bapak guru atau syaikh hanyalah sekedar menghormati ilmunya.
Kita bertanya apakah kalian meragukan keilmuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan adab para sahabat kepada beliau, meski demikian mereka tetap tidak berdiri untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Islam tidak mengajarkan penghormatan dengan berdiri. Tetapi dengan ketaatan dan mematuhi perintah, menyampaikan salam dan saling berjabat tangan. Karenanya, sungguh tak berarti apa yang disenandungkan penyair Syauqi,
“Berdirilah untuk sang guru,
penuhilah penghormatan untuknya
Hampir saja seorang guru itu,
menjadi seorang rasul (mulia).”
Sebab syair tersebut bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membenci berdiri untuk menghormat. Bahkan mengancam orang yang menyukainya dengan masuk neraka.
4. Sering kita jumpai dalam suatu pertemuan jika orang kaya masuk semua berdiri menghormat. Tetapi giliran orang miskin yang masuk, tak seorang pun berdiri menghormat. Perlakuan tersebut akan menumbuhkan sifat dengki di hati orang miskin terhadap orang kaya dan para hadirin yang lain. Akhirnya antar umat Islam saling membenci. Sesuatu yang amat dilarang dalam Islam. Musababnya, berdiri buat menghormati. Padahal orang miskin yang tidak dihormati dengan berdiri itu, bisa jadi dalam pandangan Allah lebih mulia dari orang kaya yang dihormati dengan berdiri. Sebab Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13)
5. Mungkin ada yang berkata, “Jika kita tidak berdiri untuk orang yang masuk ke majlis, mungkin dalam hatinya terbetik sesuatu prasangka kepada kita yang duduk.”
Kita menjawab, “Kita menjelaskan kepada orang yang datang itu, bahwa kecintaan kita padanya terletak di hati. Dan kita meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membenci berdiri untuk penghormatan. Juga meneladani para shahabat yang tidak berdiri untuk beliau. Dan kita tidak menghendaki orang yang datang itu masuk neraka.”
6. Terkadang kita mendengar dari sebagian masyayikh (para tuan guru) menerangkan, bahwa Hasan, penyair Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyenandungkan syair:
“Berdiri untuk menghormatiku adalah wajib.”
Ini adalah tidak benar. Dalam hal ini, alangkah indah apa yang disenandungkan oleh murid Ibnu Baththah Al-Hambali, ia bersyair,
Jika benar nurani kita, cukuplah.
“Kenapa harus badan berpayah-payah?
Jangan bebani saudaramu, saat bertemu,
dengan menghalalkan apa yang haram untukmu.
Setiap kita percaya, terhadap kecintaan murni saudaranya.
Maka, karena dan atas dasar apa, kita menjadi gelisah?”

Berdiri yang Dianjurkan
Banyaj hadits shahih, dan perilaku shahabat yang menunjukkan dibolehkannya berdiri untuk menyambut orang yang datang. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri menyambut putrinya Fathimah, jika ia datang menghadap kepada beliau. Sebaliknya, Fathimah juga berdiri menyambut ayahandanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika beliau datang. Berdiri seperti ini dibolehkan dan dianjurkan. Karena ia adalah berdiri untuk menyambut tamu dan memuliakannya. Bahkan hal itu merupakan perwujudan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Berdirilah (untuk memberi pertolongan) pemimpin kalian.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat lain,
“Kemudian turunkanlah!” (Hadits hasan)
Latar belakang hadits di atas adalah sehubungan dengan Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, pemimpin para shahabat Anshar yang terluka. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memintanya agar ia memberi putusan hukum dalam perkara orang Yahudi. Maka Sa’ad pun mengendarai himar (keledai). Ketika sampai (di tujuan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada orang-orang Anshar,
“Berdirilah (untuk memberi pertolongan) kepada pemimpin kalian dan turunkanlah!”
Berdiri dalam situasi seperti itu adalah dianjurkan. Karena untuk menolong Sa’ad, pemimpin para shahabat Anshar yang terluka turun dari punggung keledai, sehingga tidak terjatuh. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak berdiri. Demikian pula dengan sebagian shahabat yang lain.
3. Diriwayatkan, pada suatu waktu, shahabat Ka’ab bin Malik masuk masjid. Para shahabat lainnya sedang duduk. Demi melihat Ka’ab, Thalhah beranjak berdiri dan berlarian kecil untuk memberinya kabar gembira dengan taubat Ka’ab yang diterima Allah -setelah hal itu didengarnya dari Nabi- karena ia tidak ikut berjihad.
Berdiri seperti ini adalah diperbolehkan, karena untuk memberi kabar gembira kepada orang yang tengah dirundung duka. Yakni dengan mengabarkan telah diterimanya taubatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Berdiri kepada orang yang datang dari perjalanan jauh untuk menyambutnya dengan pelukan.
5. Jika kita perhatikan, maka hadits-hadits di atas memakai lafazh “ila sayyidikum, ila thalhah, ila fathimah”. Lafazh itu menunjukkan diperbolehkannya berdiri. Berbeda halnya dengan hadits-hadits yang melarang berdiri. Hadits-hadits itu memakai lafazh “lahu”.
Perbedaan makna antara dua lafazh itu sangat besar sekali. “Qaama ilahi” berarti, segera berdiri untuk menolong atau (untuk menyambut demi) memuliakannya. Sedangkan “qaama lahu” berarti berdiri untuk memberi penghormatan.

Kesimpulan:
Secara mudah, untuk membedakan penghormatan yang diperbolehkan dan yang dilarang adalah: yang pertama tidak sekedar berdiri ditempat, tetapi segera beranjak menyambut orang yang datang tersebut, baik untuk memberi pertolongan, memuliakannya, memberi kabar gembira atau melepaskan rindu dengan memeluknya. Sedangkan yang kedua (yang dilarang), hanya berdiri tegak, dan tidak beranjak dari tempat, dilakukan untuk memberi penghormatan kepada orang yang datang (pen.).
[Sumber: Jalan Golongan yang Selamat karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (penerjemah: Ainul Haris bin Umar Arifin, Lc.), penerbit: Darul Haq, hal. 191-197)
baca selengkapnya “Berdiri yang Dilarang”