Adab Berdo'a
14.32 | Author: Unknown
Allah Ta’ala berfirman:
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيًّا
“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
(Q“Berdoalah kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)
Dari Aisyah -radhiallahu ‘anha- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنْ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ
“Rasulullah -shallallahu wa’alaihi wa sallam- menyukai doa-doa yang singkat tapi padat maknanya, dan meninggalkan selain itu.” (HR. Abu Daud no. 1482 dan An-Nawawi berkata dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 431, “Sanadnya baik.”)
Dari Jabir bin Abdillah  dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لَا تُوَافِقُوا مِنْ اللَّهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ
“Janganlah kalian mendoakan keburukan pada diri kalian, jangan mendoakan keburukan pada anak-anak kalian, dan jangan mendoakan keburukan pada harta-harta kalian. Jangan sampai doa kalian bertepatan dengan saat dikabulkannya doa dari Allah lalu Dia akan mengabulkan doa kalian.” (HR. Muslim no. 3009)
Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
“Jika salah seorang dari kalian berdoa maka janganlah sekali-kali dia berkata, “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau kehendaki.” Akan tetapi hendaklah dia memastikan apa yang dia minta dan hendaknya dia memperbesar pengharapannya, karena Allah -Azza wa Jalla- sama sekali tidak pernah menganggap besar sesuatu yang Dia berikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6339 dan Muslim no. 2678)
Penjelasan ringkas:
Dari dalil-dalil di atas kita bisa memetik beberapa perkara yang menjadi adab dalam berdoa:
1.    Merendahkan suara ketika berdoa, tidak di dalam hati tapi juga tidak menjaharkannya. Karena hal itu bisa membantu dia untuk khusyu’ dan sekaligus menunjukkan ketundukan dan kerendahan dia di hadapan Allah Ta’ala.
2.    Tadharru’ (merendah) kepada Allah ketika berdoa kepada-Nya.
Ad-Dhara’ah (asal kata tadharru’, pent.) bermakna menghinakan diri, tunduk, dan mengharap. Dikatakan: ضَرَعَ – يَضْرَعُ – ضَرَاعَةُ maknanya tunduk, menghinakan diri, dan merendahkan diri. Dia tadharru’ kepada Allah maksudnya dia  berharap kepada-Nya. (Lihat Al-Mishbah Al-Munir hal. 361)
Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 42-42)
3.    Menggunakan kalimat-kalimat yang jami’ dalam berdoa, yakni yang lafazhnya ringkas akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya sangat dalam lagi sangat luas. Karenanya sudah sepantasnya seseorang itu berdoa dengan doa-doa yang Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah berdoa dengannya, karena beliaulah pemilik al-jawami’ al-kalim (kata-kata yang jami’).
4.    Tidak mendoakan kejelekan untuk diri, keluarga, dan harta benda, karena mungkin saja Allah Ta’ala akan mengabulkannya.
5.    Memastikan permintaannya dan tidak mengembalikannya kepada masyi`ah (kehendak) Allah, karena hal itu menunjukkan kurang perhatiannya dia kepada doanya dan dia tidak terlalu berharap kalau Allah akan mengabulkan doanya.
6.    Betul-betul meminta (arab: al-ilhah) kepada Allah ketika berdoa.
Al-Ilhah maknanya mendatangi sesuatu dan komitmen berada di atasnya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu anhu- secara marfu’, “Tetaplah kalian berdoa dengan ‘Wahai Yang Maha Mulia lagi Maha Pemurah.” (HR. At-Tirmizi no. 3773-3775 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/172)
Maka hendaknya seorang hamba memperbanyak doa dan sering mengulang-ulanginya. Dia terus-menerus meminta kepada Allah dengan mengulang-ulangi penyebutan rububiah-Nya, uluhiah-Nya, serta nama-nama dan sifat-sifatNya. Itu merupakan sebab terbesar dikabulkannya doa, sebagaimana yang Nabi -shallallahu alaihi wasallam- sebutkan, “Seseorang yang letih dalam perjalanannya, rambutnya berantakan, dan kakinya berpasir, seraya dia menengadahkan kedua tanganya ke langit dan berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku,” sampai akhir hadits (HR. Muslim no. 1015) dan hadits ini menunjukkan adanya ilhah dalam berdoa.
Berikut beberapa adab lainnya yang tidak tersebut dalam semua dalil di atas:
1.    Memulai dengan memuji Allah lalu bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, dan juga menutup doanya dengan ini.
Dari Fudhalah bin Ubaid -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mendengar seorang lelaki berdoa di dalam shalatnya, dia tidak memuji Allah Ta’ala dan juga tidak bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Maka Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Orang ini tergesa-gesa,” kemudian beliau memanggil orang itu lalu beliau berkata kepadanya atau kepada selainnya, “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR. Abu Daud: 2/77 no. 1481 dan At-Tirmizi: 5/516 no. 2477. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 1314 dan Shahih At-Tirmizi no. 2767.)
2.    Senantiasa berdoa kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun dalam kesulitan.
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Barangsiapa yang mau doanya dikabulkan oleh Allah ketika dia mendapatkan syada`id (kesusahan) dan al-kurab (kesulitan), maka hendaknya dia memperbanyak berdoa ketika dia lapang.” (HR. At-Tirmizi no. 3382 dan Al-Hakim: 1/544. Hadits ini juga dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmiz: 3/140, dan lihat juga Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 593)
3.    Bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan salah satu atau semua jenis-jenis tawassul yang disyariatkan, yaitu: Tawassul dengan menggunakan nama-nama dan sifat-sifat Allah, tawassul dengan amalan saleh, dan tawassul dengan perantaraan doa orang saleh yang masih hidup. Dan bukan di sini tempatnya membahas tentang tawassul.
4.    Tidak memaksakan diri dalam memperindah lafazh (sajak) doa (arab: as-saja’).
Dari Ibnu Abbas beliau berkata, “Jauhilah as-saja’ dalam berdoa, karena sesungguhnya aku mendapati Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dan para sahabatnya tidak melakukan kecuali itu -yakni: Mereka tidak melakukan kecuali menjauhi hal itu-.” (HR. Al-Bukhari no. 6337)
5.    Mengulangi doa sebanyak tiga kali.
Dalil dalam masalah ini cukup banyak, di antaranya adalah ucapan Ibnu Mas’ud bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengangkat kepalanya kemudian berdoa, “Ya Allah binasakanlah Quraisy,” sebanyak tiga kali. (HR. Al-Bukhari no. 240 dan Muslim no. 1794)
6.    Menghadap ke arah kiblat.
Dari Badr bin Zaid dia berkata, “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah keluar ke lapangan ini untuk meminta hujan, maka beliau berdoa dan shalat istisqa`, kemudian beliau menghadap ke kiblat dan membalik kain yang beliau pakai.” (HR. Al-Bukhari -dan ini adalah lafazhnya- no. 6343)
7.    Mengangkat kedua tangan ketika berdoa.
Dari Salman -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya Rabb kalian -Tabaraka wa Ta’ala- Maha Malu lagi Maha Pemurah kepada hamba-Nya, Dia malu kepada hamba-Nya tatkala dia mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lantas Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong.” (HR. Abu Daud no. 1488, At-Tirmizi: 5/ 557, dan selain keduanya. Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya jayyid,” dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/179)
8.    Berwudhu sebelum berdoa, jika memungkinkan.
Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari  bawa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- meminta air lalu berwudhu kemudian beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa, “Ya Allah, ampunilah Ubaid Abu Amir.” (HR. Al-Bukhari: 5/101 dan Muslim: 4/1943. Lihat Al-Fath: 8/42,)
9.    Menangis ketika berdoa karena takut kepada Allah Ta’ala.
10.    Jika dia mendoakan orang lain maka hendaknya dia mulai dengan mendoakan dirinya sendiri.
Dari Ubay bin Ka’ab -radhiallahu anhu- dia berkata, “Jika Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- menyebut seseorang lalu mendoakannya, maka beliau mulai dengan mendoakan diri beliau sendiri.” (HR. At-Tirmizi: 5/463) Hanya saja juga telah shahih riwayat bahwa beliau -shallallahu alaihi wasallam- tidak memulai dengan diri beliau sendiri, seperti pada doa beliau untuk Anas, Ibnu Abbas, dan ibunya Ismail -radhiallahu anhum-. (Lihat: Syarh Shahih Muslim: 15/144, Fath Al-Bari: 1/218, dan Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmizi: 9/328)
11.    Dan tentu saja dia tidak meminta kecuali hanya kepada Allah semata.
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata: Saya pernah berada di belakang Nabi -shallallahu alaihi wasallam- lalu beliau bersabda, “Wahai anak kecil, sesungguhnya saya akan mengajarkan kepadamu beberapa ucapan: Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya kamu akan mendapati Dia berada di depanmu. Jika kamu meminta maka mintalah hanya kepada Allah, dan jika kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan hanya kepada Allah.” (HR. At-Tirmizi: 4/667 dan Ahmad: 1/293. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 2/309)
baca selengkapnya “Adab Berdo'a”
Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu
11.59 | Author: Unknown
Seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)

Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.
Adab Bagi Tuan Rumah
1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)
5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:
فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.
7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.
8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.
10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,
فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ
“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)
13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.
14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.
15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.
Adab Bagi Tamu
1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ
“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)
Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:
  • Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
  • Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
  • Orang yang mengundang adalah muslim.
  • Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
  • Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
  • Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.
3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)
5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)
6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.
7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)
9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ
“Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”" (HR. Bukhari)
11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ
“Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani)
اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي
“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)
اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)
12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.
baca selengkapnya “Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu”
Adab Duduk Di Pinggir Jalan
09.24 | Author: Unknown
"Dari Abu Said, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Hendaklah kalian tidak duduk di jalan-jalan. Lalu mereka [para sahabat] bertanya : Wahai Rasulullah ! Bagaimana sekiranya kami mesti duduk-duduk berbicara di tempat-tempat kami [ditepi jalan]? Sabdanya : Jika kamu tidak mau meninggalkan tempat-tempat duduk itu, maka hendaklah kalian berikan kepada jalan itu haknya. Lalu mereka bertanya: Apakah haknya itu ? Sabdanya: yaitu menundukkan pandangan, menghindari gangguan, menjawab salam, menyuruh berbuat baik dan mecegah berbuat dosa".
[HR. Bukhari & Muslim]

Hak-hak jalan menurut hadits di atas adalah :
1. Menundukkan pandangan.
Yaitu jangan memandang kepada perempuan (lawan jenis) yang sedang jalan dan jangan pula memandang orang yang jalan dengan cara yang menibulkan hati tidak senang.

2. Tidak mengganggu.
Yaitu orang yang sedang jalan jangan diganggu baik dengan omongan, isyarat, suara perbuatan atau cara cara apa saja.

3. Menjawab salam.
Yaitu bila orang yang sedang lewat memberi salam wajib menjawab salamnya.

4. Menyuruh berbuat baik.
Yaitu bila didapati orang yang berjalan berbuat tidak baik, hendaklah diansehati dan dicegah perbuatannya itu, Atau kepada orang orang di jalan, bila tersesat, lalau ditunjukkan jalannya yang benar.

5. Mencegah perbuatan dosa.
Yaitu apabila orang yang jalan berbuat maksiat, hendaklah dihentikan kemaksiatannya itu.

Menurut Ibnu Hajar hak yang wajib dipenuhi oleh orang yang duduk ditepi jalan ada 13, yaitu:
1. Memberi salam
2. Menjawab salam
3. Berkata baik
4. Mendoakan orang yang bersin
5. Menolong orang yang memikul beban
6. Menolong orang yang teraniaya
7. Menolong orang yang kesusahan
8. Menunjukkan jalan orang yang tersesat
9. Menyuruh berbuat baik
10. Mencegah berbuat dosa
11. Tidak mengganggu
12. Menundukkan pandangan
13. Banyak mengingat kepada Allah

Tentang hukumnya orang yang duduk-duduk di tepi jalan adalah "makruh". Kalau duduknya sampai melanggar salah satu dari tigabelas hal yang wajib dipenuhi itu , maka hukumya "haram".

Adapun mengapa Rasulullah SAW melarang yang yang duduk-duduk di jalan ?
Pada pokoknya Rasulullah khawatir akan timbulnya fitnah. Dalam hadits ini memuat pengakuan bahwa "jalan" itu merupakan hak Allah dan hak umat. Dan bila kita berada dalam sesuatu yang menjadi "hak Allah dan umat" maka haruslah hak-hak tersebut dipenuhi dan tidak boleh dirusak. Untuk itu Rasulullah menyuruh agat tidak duduk di jalanan (pinggir jalan) tetapi duduklah di rumah.

Tetapi tatakala para sahabat yang minta agar dibolehkan duduk di jalan tempat dimana biasanya mereka gunakan, maka Rasulullah membolehkan, dengan syarat dapat menghormati hak-hak orang yang jalan.
baca selengkapnya “Adab Duduk Di Pinggir Jalan”